“ngak bisa dong.” Jawabku dengan cemas melihat tujuh kali panggilan tidak terjawab dari layar ponsel, sementara Yena terlihat santai hendak kabur dari rumah.
Meskipun kami hanya berjarak usia satu tahun lebih tua dariku, namun dia selalu saja memperlakukanku layaknya seorang senior kampus tingkat atas, galaknya melebihi dosen killer. Aku dan dia adalah dua kombinasi yang tidak akan pernah bersatu, seperti air dan minyak kepribadian kami bertolak belakang. Hal inilah yang membuat kami sering kali bertengkar jika bertemu, apalagi soal memperdebatkan siapa yang akan menjaga bunga ini atau soal siapa yang akan berdiam diri menjaga rumah di hari minggu, akulah orang itu. Akulah orang yang akan di korbankan sementara dia sibuk bersenang-senang dengan kegiatannya.
Semua orang bahkan kabur di waktu yang tepat. Ibu dan ayah pergi kondangan, adik bungsu si Susik pergi main layangan, mak lampir Yena sibuk kelayapan dan aku pun akhirnya kelabakan melihat rencana kencanku yang hampir gagal.
“udah, pokoknya kamu bawa bunga itu dan jangan sampai rusak oke! Kakak pergi dulu.” Ucap Yenna membuka pintu hendak pergi meninggalkan rumah.
“kenapa ngak di tinggal saja bunganya di dalam rumah. Kalau takut di curi, ya tinggal kunci pintu. Selesai!” jawabku memberi solusi.
“ngak bisa. Terakhir kali rumah kita sudah di kunci, di gembok, di rantai, terus kamu lihatkan kejadiannya semua hilang termasuk bunga kesayangan nenek 70 juta itu. Oke, kalau begitu kakak anggap kamu yang akan menanggung semuanya jika bunga itu hilang.” Lanjut Yena kembali mengancamku dan aku pun rasanya tidak mampu untuk melupakan masalah hilangnya bunga 70 juta nenek di masa lalu yang membuat kami sekeluarga harus menyicil kerugian hingga sekarang.
“ya terus kencanku bagaimana? Bunganya? Aduh, kenapa jadi rumit begini sih!” ucapku kesal sembari melihat ke arah jarum jam yang telah menunjukkan pukul 2 siang dan itu artinya aku telah terlambat 30 menit menemui Nina. Aku mulai dilema, nasibku kini di tentukan oleh keberadaan bunga sialan ini. Lalu bagaimana aku hidup jika bunga ini sampai hilang? Tamatlah riwayatku!
Akhirnya tanpa berpikir panjang, aku gandeng bunga itu dan membawanya bersama ditengah kencan. Sungguh ini adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan. Hingga Nina datang dengan gembiranya lalu bertanya, “sayang, bunga itu buat aku?” ucap nina dengan senyum semberingah,
“ah, sayangnya bunga ini bukan buat kamu sayang.” Lanjutku berbicara dengan manis, sambil merendahkan suara dihadapannya.
“lalu bunga itu buat siapa? Kamu selingkuh ya ?” teriak Nina meninggikan suaranya sambil berbalik menjauh.
“bukan sayang, bunga ini…” berusaha untuk menarik tangannya kemudian terlepas, lalu Nina berlari sekencang-kencangnya dari hadapanku saat itu.