Tentang rindu yang tak berkesudahan, dan harapan akan lembar baru kehidupan
Terkadang, hidup mengajarkan kita bahwa cinta sejati datang di saat kita paling membutuhkan. Di masa tergelap hidupku, ketika kehilangan sosok ayah yang begitu berarti, Tuhan mengirimkan malaikat penyelamat. Dia, seseorang yang kemudian menjadi alasan bagiku untuk tetap bertahan, untuk terus melangkah meski dengan kaki yang gemetar.
Dua tahun bersamanya bukan sekadar hitungan waktu. Setiap detik bersamanya adalah pembelajaran, setiap hari adalah kesempatan untuk menjadi versi terbaik dari diri ini. Bahkan di saat diagnosis psikiater menghantui, dia tetap di sana, menggenggam tanganku, menuntunku keluar dari kegelapan.
Memang, aku tak sempurna. Ada banyak hal yang kulakukan yang tak sesuai dengan harapannya. Begitu pun dia, dengan segala kekurangannya. Tapi bukankah itu yang membuat cinta menjadi begitu istimewa? Kita belajar untuk menerima, untuk memahami, untuk tumbuh bersama.
Kini, setelah jarak memisahkan, aku menyadari betapa besar arti kehadirannya dalam hidupku. Perbedaan status ekonomi yang dulu menjadi tembok penghalang, kini justru menjadi motivasi bagiku untuk terus berbenah. Setiap hari kuhabiskan untuk memantaskan diri, berharap suatu hari nanti, ketika Tuhan mempertemukan kita kembali, aku sudah menjadi pribadi yang lebih baik, yang layak untuknya dan keluarganya.
Mungkin ini terdengar seperti harapan yang terlalu muluk. Tapi bukankah cinta sejati memang selalu memberi kita kekuatan untuk bermimpi? Aku percaya, jika memang dia jodohku, Tuhan akan mempertemukan kami kembali dalam versi terbaik kami masing-masing.
Untuk dia yang masih kunanti, semoga kau juga menemukan kedamaian dalam perjalananmu. Dan jika takdir mengizinkan, mari kita tulis lembaran baru bersama, dengan tinta yang lebih dewasa dan halaman yang lebih berwarna.
By: Galen Vanora
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H