Mohon tunggu...
Getta Adinda Kusumaningtyas
Getta Adinda Kusumaningtyas Mohon Tunggu... Lainnya - Alumni Columbia University in The City of New York

Tertarik dengan topik perekonomian global, infrastruktur, pembangunan dan pendanaan berkelanjutan. Serta mendukung inisiatif yang mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berwawasan lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

BRICS, Tiket Indonesia Menuju Negara Maju?

22 Januari 2025   12:34 Diperbarui: 22 Januari 2025   12:43 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Diawali pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS yang diadakan di Kazan, Rusia di akhir Oktober tahun 2024 lalu, Menteri Luar Negeri Indonesia Sugiono menyuarakan minat Indonesia untuk bergabung dengan BRICS, yang merupakan organisasi kerja sama antara negara - negara berkembang di dunia, yang beranggotakan negara - negara yang diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi utama dunia pada tahun 2050 mendatang, diantaranya adalah negara Brasil, Rusia, India, dan Cina. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan tersebut, Indonesia secara resmi dinyatakan sebagai mitra aliansi BRICS per 1 Januari 2025.


Sedikit kilas balik ke tahun 2020, Amerika Serikat mengeluarkan Indonesia dari daftar Negara Berkembang di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yang diputuskan demi kepentingan politis sehingga Indonesia tidak lagi berhak mendapatkan keistimewaan bea masuk dan kompensasi lain dalam pelaksanaan ekspor dan impor. Selain Indonesia, anggota BRICS seperti Brasil, India, dan Cina turut dikeluarkan dari daftar tersebut. Dari hal tersebut, dapat kita lihat bahwa Amerika Serikat turut menilai "kapasitas" Indonesia cukup besar dan kuat sejajar dengan anggota negara BRICS lainnya. Indonesia sendiri sejak bertahun - tahun yang lalu diperkirakan akan menjadi salah satu dari ekonomi terbesar di dunia di masa mendatang, salah satunya berdasarkan perkiraan Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi Negara - negara Maju (OECD) yang memprediksi Indonesia akan menduduki peringkat keempat sebagai ekonomi terbesar dunia pada tahun 2045.


Mempertimbangkan tujuan BRICS untuk menguatkan pengaruh dan posisi negara - negara berkembang di kancah global melalui peningkatan kerjasama di berbagai bidang, seperti bidang keuangan, budaya, politik, dan keamanan, serta afirmasi positif dari berbagai lembaga dunia mengenai potensi Indonesia untuk menjadi kekuatan ekonomi dunia, akankah BRICS menjadi tiket bagi Indonesia menjadi negara maju di masa mendatang?


Pada titik tertentu, jawaban atas pertanyaan tersebut dapat menjadi "ya". Sebagai salah satu upaya untuk memperkuat perekonomian, anggota BRICS telah berupaya untuk mulai menanggalkan mata uang Amerika Serikat sebagai alat transaksi. Selama ini, dolar Amerika Serikat menjadi salah satu alat untuk menjaga stabilitas perekonomian termasuk di negara - negara berkembang. Selain Indonesia, semakin banyak negara turut bergabung dan menyampaikan minatnya untuk bergabung dengan BRICS, bahkan Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Mesir telah resmi menjadi mitra aliansi BRICS. Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump mengeluarkan ancaman pada bulan Desember tahun 2024 untuk menerapkan tarif impor seratus persen bagi negara - negara BRICS bila berupaya menggantikan dolar Amerika.


Bila suatu negara banyak memiliki hutang dalam denominasi dolar Amerika Serikat, maka akan rentan dipengaruhi oleh pergerakan The Federal (Fed) Funds Rate. The Fed Funds Rate akan menjadi acuan bagi suku bunga kredit dan pinjaman lainnya, serta memengaruhi suku bunga simpanan, mata uang Amerika Serikat, tingkat inflasi, dan bahkan harga komoditas. Selama ini The Fed Funds Rate dianggap sangat penting, tidak hanya untuk perekonomian Amerika Serikat, namun juga untuk perekonomian negara berkembang.


The Fed Funds Rate dan mata uang Amerika Serikat cenderung bergerak searah. Ketika The Fed Funds Rate bergerak naik menjelang era 80-an, dolar Amerika Serikat turut melonjak. Saat The Fed Funds Rate bergerak turun dari era 80 ke 90-an, dolar Amerika Serikat juga demikian. Ketika The Fed Funds Rate bergerak turun dan naik kembali di tahun 2010-an, dolar Amerika Serikat menunjukkan pergerakan yang serupa.


Untuk melihat dampak dari pergerakan The Fed Funds Rate terhadap perekonomian negara - negara BRICS yang memiliki utang lebih banyak dalam denominasi dolar atau sovereign debt, berikut penjelasannya: dilansir dari data yang dirilis oleh Bank Dunia, di antara negara BRICS, Cina memiliki hutang luar negeri tertinggi yang mencapai 2,72 Triliun US Dolar pada tahun 2021, 2,45 Trilun US Dolar pada tahun 2022, dan 2,42 Triliun US Dolar pada tahun 2023. Namun Cina memiliki ukuran pasar dan tingkat ekspor yang besar, serta Cadangan devisa yang signifikan, utamanya dalam mata uang US Dolar, bahkan terbesar di antara negara - negara anggota BRICS lainnya, yang dapat membantu Cina untuk tidak terlalu terpengaruh oleh pergerakan suku bunga Amerika Serikat. Hutang luar negeri tertinggi selanjutnya diikuti oleh India yang mencapai 611,99 Miliar US Dolar pada tahun 2021, 615,52 Miliar US Dolar pada tahun 2022, 646,79 US Dolar pada tahun 2023, serta Brazil yang mencapai 571,53 Miliar US Dolar pada tahun 2021, 579,47 Miliar US Dolar pada tahun 2022, dan 607,12 Miliar US Dolar pada tahun 2023.


Sehingga resistensi Cina juga tercermin dalam inflasi, karena inflasi dapat menjadi indikator untuk mengukur dampak dari suku bunga Amerika Serikat. Inflasi juga dapat memengaruhi ketidakstabilan politik serta respons kebijakan moneter dan fiskal domestik. Meskipun tingkat inflasi, baik di Cina cenderung turut naik ketika The Fed Funds Rate naik, namun selama ini tingkat inflasi di Cina masih lebih rendah dibandingkan dengan Brasil, India, Rusia, dan Afrika Selatan.


Capital inflow atau arus masuk modal juga merupakan hal penting bagi negara berkembang. Ketika The Fed Funds Rate naik, para investor cenderung menarik uang mereka dari pasar negara berkembang, terutama dari Cina karena Cina merupakan tujuan paling menarik bagi investasi asing.


Current account (neraca transaksi berjalan) yang mencatat nilai ekspor - impor barang dan jasa, serta transfer modal internasional, juga dapat menjadi indikator selanjutnya untuk mengukur seberapa rentan suatu negara jika The Fed Funds Rate mengalami kenaikan. Defisit current account yang besar dapat menempatkan negara tersebut dalam risiko ketika negara tersebut mendapatkan tekanan dari utang yang berdenominasi dalam mata uang Amerika Serikat. Defisit current account yang besar juga akan membuat investor kehilangan kepercayaan untuk berinvestasi dan menyebabkan arus keluar modal dari negara tersebut. Brasil, India, dan Afrika Selatan memiliki current account yang defisit sehingga beresiko tinggi terhadap kenaikan The Fed Funds Rate, dibandingkan dengan Cina dan Rusia yang memiliki current account yang positif akibat tingginya aktivitas ekspor di negara - negara tersebut.


Melihat perjalanan negara - negara anggota BRICS sebelumnya dalam menerjang fluktuasi The Fed Funds Rate dan mata uang Amerika Serikat, maka dengan menguatnya kolaborasi antar negara - negara berkembang yang tergabung dalam BRICS serta upaya - upayanya dalam memperkuat fundamental masing - masing negara anggota untuk menghadapi pengaruh negara maju, utamanya Amerika Serikat, menjadi sebuah harapan untuk negara - negara berkembang tersebut saling bahu membahu mengubah status menjadi negara maju.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun