Mohon tunggu...
Getha Dianari
Getha Dianari Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

Tunggu sesaat lagi, saya akan menulis lagi.

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ramadan dan Renungan Iman

30 Mei 2019   16:24 Diperbarui: 31 Mei 2019   03:34 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya ingin menegaskan bahwa saya bukan Ustadzah, guru spiritual, atau lebih daripada itu. Namun saya kira terhadap setiap manusia Tuhan memberikan akal budi, takdir-takdir peristiwa yang jika dikumpulkan menjadi serentetan pengalaman hidup, sehingga manusia bisa memahami siapa dirinya, apa yang harus ia perbuat, dan tujuan apa yang ingin dicapai hingga akhir hayat.

Ramadan kali ini berbeda. Karena atas rahmat-Nya, pada Ramadan kali ini saya bukan lagi siswa, bukan pula seorang anak yang masih bergantung materiil kepada orang tua, dan bukan pula remaja yang masih mencoba-coba pergaulan atau terhuyung-huyung mencari pekerjaan. Singkatnya, saya tengah memulai hidup mandiri, mengambil keputusan berdasarkan suara hati dan pertimbangan diri sendiri. Di saat inilah saya baru mengerti mengapa orang dewasa bisa lebih bijaksana, karena dalam fase kemandiriannya ia punya lebih banyak kesempatan untuk menilai arti perbuatannya, masalah yang terjadi dalam lingkungan sekitarnya, hingga kehikmatan ibadahnya.

Melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan renungan singkat tentang keimanan.

Mengenal Iman

Iman secara etimologis berarti 'percaya', dijelaskan dalam Wikipedia. Bukti iman seorang muslim hakekatnya terpatri dalam rukun iman yang berjumlah enam: (1) Iman kepada Allah, (2) Iman kepada para malaikat Allah, (3) Iman kepada kitab-kitab Allah, (4) Iman kepada para rasul Allah, (5) Iman kepada hari akhir, dan (6) Iman kepada qada dan qadar. Pada tahap lebih lanjut, keimanan itu diwujudkan dalam tindakan-tindakan representatif berupa amalan-amalan baik.

Tingkatan iman seorang muslim barangkali terus menanjak seiring pertumbuhan kedewasaannya. Sewaktu kecil kita dibimbing mengucap syahadat, memahami permulaan konteks tauhid. Mengimani Allah sebagai satu-satunya Tuhan pencipta alam semesta beserta isinya dan Muhammad adalah utusan-Nya.

Di usia-usia sekolah dasar dan menengah, kita dibimbing untuk menyertai keimanan dengan amalan-amalan rukun islam setelah syahadat, yakni solat wajib lima waktu sehari, puasa di bulan Ramadan, dan terpatri kelak setelah dewasa seorang muslim harus berzakat dan melaksanakan ibadah Haji jika mampu. Juga amalan mempelajari, membaca dan mengamalkan ayat-ayat Al-Qur'an.

Pada tingkat lebih lanjut, kita dikenalkan pada sifat-sifat Allah dan wujud syariat Islam. Selain tunggal, Dia zat maha sempurna, dilantunkan dalam Asmaul Husna atau 99 Nama Allah. Allah telah mengatur segala sesuatu tentang kehidupan dari sebelum, saat, dan sesudah manusia lahir, menjalani kehidupan hingga mati kembali lagi kepada-Nya. Sehingga ada hukum-hukum yang berlaku sesuai kehendak Allah, serta ganjaran kepatuhan atau pembangkangan atas hukum-hukum tersebut berupa surga dan neraka. Dengan begitu bisa dikatakan, kunci hidup manusia tak lain adalah keimanan dan kesadaran.

Setelah lulus sekolah menengah atas, saya melanjutkan studi di sebuah universitas katolik di Bandung. Dalam lingkungan universitas, saya dihadapkan pada pluralitas; Orang-orang dengan suku, budaya, etnis dan agama yang beragam, tidak ada satu kelompok mayoritas. Islam, Katolik, Protestan, Buddha, Hindu, Tionghoa, dan lainnya, kita belajar dan beraktivitas berdampingan, saling berkawan.

Menjadi seorang muslim dalam pluralitas malah membuat saya semakin yakin akan kebenaran Islam. 

Dalam banyak kesempatan, saya mau tak mau mempelajari lebih banyak soal Islam, karena beberapa kali harus terlibat dalam diskusi keagamaan; Terdapat sebuah kelas Ilmu Fenomenologi atau tak jarang kawan beragama lain tertarik mendengar kesaksian saya soal Islam. Saya pun sangat terbuka menerima pandangan-pandangan mereka tentang agamanya. Dalam toleransi, disinilah keimanan dan adab berdakwah seorang muslim diuji. Saya berpegang pada firman Allah Q.S. Al-Kafirun (6), "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku", serta Q.S. Al-Baqarah (213), "Allah memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus".

Kini saya masuk dalam lingkaran yang lebih luas lagi, bukan hidup dalam rumah atau belajar dalam sekolah, melainkan bekerja dalam perusahaan dan hidup dalam masyarakat. Sudah barang tentu keimanan harus diaplikasikan dalam peristiwa yang lebih beragam. Ketangguhan dalam mempertahankan iman itulah yang menjadi penentu kualitasnya.

Prasangka, Ujian Keimanan dalam Hidup Bermasyarakat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun