Mohon tunggu...
Getha Dianari
Getha Dianari Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

Tunggu sesaat lagi, saya akan menulis lagi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dalam Pertanian Modern, Petani Sejahtera Masih Menunggu Giliran

18 Mei 2019   09:42 Diperbarui: 18 Mei 2019   09:56 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kebun Teh Lembang Milik PTPN | Dokumentasi Pribadi

Homo Sapiens hingga 45.000 tahun silam hanya berkutat di Afro Asia. Upaya pertama untuk keluar dari daratan Afro Asia berasal dari pesisir Indonesia, mereka merakit dan mempelajari teknik pelayaran sederhana untuk sampai ke Australia. Demikian ditulis Yuval Noah Harari dalam bukunya Sapiens. Ini membenarkan bahwa nenek moyang Indonesia sesungguhnya adalah pelaut, bukan petani. Lantas sejak kapan manusia, khususnya orang Indonesia, bertani?

Perkelanaan Homo Sapiens dalam kelompok-kelompok kecil untuk menguasai mata rantai di seluruh dunia berlanjut sehingga hidup secara nomaden (berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain berdasarkan ketersediaan sumber makanan dan perubahan iklim). Setelah perkelanaan panjang dan kian lama kelompok kian menggemuk, manusia menyadari perlunya tinggal menetap. Di saat inilah mulanya manusia bercocok tanam, setidaknya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga secara berkelanjutan.

Menurut Harari, transisi menuju pertanian dimulai sekitar 9.500-8.500 SM di wilayah perbukitan Turki Tenggara, Iran Barat dan Masyrik. Pada abad ke-1 M, sebagian sangat besar manusia di seluruh dunia merupakan petani. Tak terkecuali Indonesia sebagai negara agraris yang sudah disebut-sebut sejak masa prasejarah, menurut Dedy Susanto dalam Detik.

Di mata dunia, Indonesia adalah perkebunan lebat dengan beragam spesies di dalamnya. Tanah Indonesia subur, beriklim tropis, juga didukung cahaya matahari dan curah hujan yang sesuai untuk bercocok tanam apapun. Sampai-sampai seorang konsultan dan aktivis asal Amerika, John Perkins, menganalogikan Indonesia sebagai harta yang sulit digapai, yang dicari namun tak pernah ditemukan oleh Columbus, putri yang dirayu namun tak pernah dikuasai oleh Spanyol, oleh Belanda, oleh Portugis, oleh Jepang: fantasi dan impian.

Pra Modernisasi Pertanian

Mulanya bertani adalah cara bertahan hidup, self sufficiency, hasilnya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sendiri. Fenomena ini sudah langka ditemui, tetapi saya masih sempat melihatnya saat mengunjungi rumah kakek di Gunung Kidul, Yogyakarta. 

Ia memenuhi kebun dengan singkong, berbagai sayuran, buah-buahan, dan empang untuk beternak ikan. Hasil berkebun dan beternak itu diolah untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Secara geografis, lokasi rumah kakek saya memang jauh dari pasar atau perkotaan sehingga self sufficiency adalah cara efektif dalam hal ini.

Di lain hal, para rumah tangga memiliki kebutuhan untuk saling bertukar hasil produksi karena pertanian pada lahan 0,1-0,2 hektare tak cukup ditanami terlampau banyak varian bahan pangan. Jika salah seorang petani dapat menghasilkan ubi, petani lain menghasilkan buah, terjadilah pertukaran antara keduanya sehingga petani ubi dapat memakan buah dan petani buah dapat memakan ubi.

Pangan sebagai kebutuhan primer manusia, dalam kaitan biologis maupun ekonomi, sudah cukup menjelaskan pentingnya sektor pertanian bagi suatu negara. Indonesia sendiri sempat menorehkan prestasi swasembada pangan tahun 1984 yang diakui Food and Agriculture Organization (FAO). 

Pentingnya upaya swasembada secara berkelanjutan juga ditegaskan La Via Campesina (organisasi perjuangan petani internasional) saat memperkenalkan konsep kedaulatan pangan (Food Sovereignty) bagi umat manusia di dunia untuk pertama kali pada World Food Summit (WFS) yang dilaksanakan bulan November 1996 di Roma, menurut laporan Serikat Petani Indonesia (SPI).

Untuk meningkatkan produksi, salah satu langkah populis adalah membuka sebanyak-banyaknya lahan pertanian lewat pemahaman tanah sebagai faktor utama dalam pertanian. Upaya memperluas lahan untuk meningkatkan produksi tani disebut strategi ekstensifikasi.

Akan tetapi, kekhawatiran mulai menyeruak manakala populasi manusia dari masa ke masa bertambah kian hebatnya tak diiringi dengan pertumbuhan lahan. Hal ini melatarbelakangi ramalan ekonom dunia, Robert Malthus pada tahun 1798 tentang kepunahan ekonomi akibat eksploitasi sumber daya alam terus-menerus hingga tak sanggup lagi mengikuti pertambahan penduduk. 

Ramalan ini ada benarnya, toh pada akhirnya lahan pertanian mau tak mau harus berbagi dengan lahan permukiman. Bagaimana lahan pertanian yang semakin menyusut harus memproduksi lebih banyak hasil pangan untuk memenuhi kebutuhan populasi yang kian bertambah?

Inilah perlunya strategi intensifikasi. Pertanian difokuskan pada upaya peningkatan produksi tanpa penambahan lahan, atau secara efektif meningkatkan hasil tani di lahan terbatas. Saya kira dari sinilah awal mulanya modernisasi pertanian berangkat.

Modernisasi Pertanian

Modernisasi pertanian dapat menyentuh beberapa unsur seperti kualitas hasil tani, metode penanaman, alat produksi, dan pemasaran.

Dalam peningkatan kualitas hasil tani, dikenal rekayasa genetika untuk menghasilkan bibit unggul yang lebih tahan penyakit melalui perbaikan gen atau penciptaan spesies baru melalui pengawinan gen. Rekayasa genetika dikembangkan untuk berbagai bahan pangan seperti kedelai, beras, jagung, kentang, tebu, dan buah-buahan.

Untuk pemanfaatan lahan terbatas, saat ini sudah banyak usaha-usaha tani yang mengembangkan hidroponik atau sistem penanaman vertikal.

Dari semua opsi yang ada, bentuk modernisasi pertanian yang paling tampak perkembangannya adalah mekanisasi atau pengalihan alat produksi tradisional ke mesin. Jika dahulu petani menggunakan kerbau untuk menyiangi gulma dan menggemburkan tanah, saat ini power weeder atau traktor-traktor pembajak tanah sudah jauh lebih populer penggunaannya. 

Di perkebunan modern, dapat ditemui lebih banyak variasi teknologi seperti green house, penyiram otomatis menggunakan sensor kelembaban tanah, hingga harvester/plucking machine.

Tak terbatas pada proses produksi, modernisasi juga menyentuh pasca produksi sehingga meningkatkan nilai tambah hasil tani itu sendiri. Perusahaan-perusahaan pemasar makanan olahan mengadakan contract farming dengan para petani penggarap dalam perjanjian kuantitas, kualitas dan harga beli tertentu. 

Pada tahap selanjutnya, hasil produksi beberapa lahan garapan tersebut dikumpulkan, disaring dan diolah menjadi produk makanan-jadi yang dipasarkan secara luas atas nama perusahaan sponsor.

Dari sisi pemasaran, seiring perkembangan tren e-commerce, pengusaha tani tak mau ketinggalan memanfaatkan peluang. Marketplace penjual hasil tani seperti Brambang.com dan Baktikunegeriku.com mulai menyasar ibu-ibu millenial. Meski keduanya masih harus banyak mengevaluasi sistem pengemasan dan logistik.

Dalam obrolan singkat saya minggu lalu dengan beberapa kerabat yang berlangganan, mereka sangat antusias membeli produk dari kedua marketplace tersebut karena menawarkan daging dan buah yang jarang ditemui di pasar tradisional atau swalayan. 

Namun pada beberapa kasus, ada jenis sayur dan buah tertentu yang tak bisa tahan lama, alhasil begitu barang diterima sayur dan buah sudah membusuk. Pelanggan berharap dapat disediakan jalur pengiriman ekspres 1 hari karena saat ini lama pengiriman masih di kisaran 3-4 hari. Begitu pula dengan teknik pengemasan vakum maupun wrapping, diharapkan dapat dirancang lebih baik lagi.

Tentang Kesejahteraan Petani

Suatu pagi hari yang cerah tanggal 13 Agustus 2015 bersama sebuah komunitas kecil, SSPROJECT Indonesia, saya berkunjung ke sebuah perkebunan teh di kawasan Ciater, Lembang. Sepanjang mata memandang hanya ada dedaunan teh menghampar luas, sama sekali tak ditemui petani-petani pemetik teh yang dalam bayangan kami menggunakan caping dan memanggul keranjang di punggung. 

Setelah menanyai sorang pemilik warung di pinggir jalan, ia menyampaikan bahwa kami seharusnya datang lebih awal. Lantas kami mencari tahu dimana kami bisa menemui para petani dan ia menunjuk sebuah permukiman tak jauh dari areal perkebunan, Kampung Dawuan.

Kami tertegun dengan pemandangan saat memasuki kampung. Susunan rumah dan setapak jalan di antaranya tertata rapi dalam desain serupa sehingga tak satupun mencolok, meski hanya terbuat dari bilik bambu. Kedatangan kami disambut hangat oleh ketua rumah tangga setempat, Bapak Wiyan. Selaku Ketua RT 16 Kampung Dawuan, Bapak Wiyan membenarkan sebagian besar warganya berprofesi sebagai petani pemetik teh lepasan di areal perkebunan teh kelolaan PTPN Ciater, kurang lebih sebanyak enam puluh kepala keluarga bergantung hidup dari memetik teh.

Namun belakangan, banyak warga yang harus kehilangan pekerjaan karena perusahaan memberlakukan kebijakan mekanisasi. Saat ini PTPN sudah mengganti fungsi pemetik teh dengan plucking machine. Perusahaan tidak lagi membutuhkan banyak tenaga kerja, hanya menghadirkan dua teknisi sebagai gantinya, bertempat tinggal agak jauh dari Kampung Dawuan.

Para eks pemetik teh lepasan kini hanya bergantung pada kebun-kebun kecil di depan rumah mereka sendiri. Tak banyak yang bisa mereka lakukan selain menanam kol atau sawi di atas sepetak tanah pribadi karena sejak bertahun-tahun lamanya mereka tak mempelajari keterampilan lain. 

Permodalan dan akses menuju pasar pun menjadi suatu permasalahan tersendiri. Sehingga dalam perbincangan yang lalu, Bapak Wiyan berharap perusahaan dapat mempertimbangkan kembali keputusannya atau jika tidak pemerintah dapat memberi perhatian kepada nasib warga kampungnya yang kini kesulitan mencari pekerjaan.

Di belahan lain tanah Jawa, pada awal Ramadhan 6 Mei 2019, saya berkesempatan mendengar kesaksian soal contract farming dari seorang pemilik 60 hektare lahan agribisnis Totalindo Gemilang Group, Ibu Sri Ratnawati. Perkebunannya berada di Magelang, lahan yang strategis untuk bercocok tanam karena dikelilingi gunung-gunung api seperti Merapi, Merbabu dan Sumbing. 

Abu vulkanik dari gunung api menggemburkan tanah secara alami. Oleh karena itu, banyak perusahaan sponsor melirik perkebunan TGG karena apapun jenis tanamannya pasti berkualitas bagus.

Perkebunan Totalindo Gemilang Group di Magelang | Dokumentasi Pribadi
Perkebunan Totalindo Gemilang Group di Magelang | Dokumentasi Pribadi

Saat ini TGG terlibat kontrak dengan Indofood untuk menghasilkan cabai dari lahan perkebunan seluas 3,5 hektare, setelah sebelumnya terlibat kontrak dengan Kem Farm Indonesia untuk menyuplai nasubi atau terung jepang yang diekspor ke negara asalnya. Dibantu 70 petani dengan masing-masing keahlian terspesialisasi, TGG memanen 8 ton terung jepang dua kali dalam seminggu.

Masalah muncul karena kontrak antara TGG dengan perusahaan sponsor tak pernah benar-benar mencapai kesepakatan yang menguntungkan petani. Margin dari harga beli terung per kilo Rp 10 ribu tak cukup besar untuk membiayai upah petani Rp 25-65 ribu per hari dan keuntungan pemilik lahan sekaligus. 

Belum lagi ulah mafia grading yang sesekali menukar hasil produksi TGG dengan garapan lain. Namun sejak terlibat kontrak baru dengan Indofood, TGG sedikit lebih tenang karena perusahaan sponsor memberlakukan koreksi harga setiap minggu berdasarkan fluktuasi harga pasar.

Saya pun tertarik bertanya soal kegiatan petani di masa tunggu panen. Menurut pemaparan Ibu Sri, beberapa petani yang memiliki lahan garapan sendiri akan melanjutkan kegiatan bercocok tanam, sedangkan petani-petani lainnya menganggur. 

Kekurangan mereka adalah tidak memiliki keterampilan lain atau modal untuk setidaknya membuka usaha kecil-kecilan. Inilah alasan mengapa petani membutuhkan upah yang wajar sebagai satu-satunya sumber mereka bertahan hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun