Mohon tunggu...
Djendoel Gesti
Djendoel Gesti Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seorang gadis yang selalu haus dan lapar tentang ilmu kehidupan..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Entah

13 November 2012   12:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:28 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namanya ada dimana-mana. Bak sampah, tiang listrik, televisi, bahkan di poster-poster yang menggantung itu. Apakah hal ini akan terjadi seumur hidup nanti? Mudah mudahan tidak. Jika iya, aku pasti akan dianggap gila. Atau aku ini memang sudah gila? Entah. Apa aku hanya mengilainya? Entah. Apa dia yang gila hingga menulari penyakit gila yang semakin menggila ini? Entah.

"Aku lelah bicara denganmu. Kosong. Kau hanya bisa bicara pada rumput, lampu, ban motor. Mereka lebih kau anggap."

"Mungkin mereka lebih mengerti dirimu ketimbang aku. Aku benci harus belajar memahamimu, manusia buku."

Sungguh, kata-katamu menerjang duka yang telah lama mengendap, menyisakan koreng di sana.

Ya, aku si manusia buku yang penuh nista. Hingga sedikitpun aku tak pantas menyentuh hatimu kembali. Hanya mereka, tumbuhan, rumput yang bergoyang, atau angin sepoi lirih yang lebih menerimaku.

Di sini, di hutan penuh jelaga bekas jiwa-jiwa pesakitan yang terbakar. Aku mencoba menghapus bayangmu, sayang. Engkau yang terlalu banyak menderita dan perih luka yang sering kutetesi cuka nampaknya telah tak acuh lagi akan matiku. Apalah artinya hidup penuh kegombalan dan uang? Memang pengorbananmu tak sebanding dengan penantianku, dan tak akan pernah. Memang telah lupa kau akan punggungmu yang penuh bekas kerokan -merah- dari koin seribuan yang baru kupegang.

Artinya?

Entah.

Ingatkah engkau saat kita berjalan bersama, menggunakan kedua kaki kita, menentang matahari yang membara, memanggang kulit kita hingga gosong? Tentu tidak, dengan segala kenyamananmu sekarang mana mau kau bersusah-susah lagi denganku.

Lalu ingatkah engkau saat pertama kita naik motor butut itu -kedinginan- melawan hujan yang terus menitikkan kebahagiaan yang meluap dari dalam hatiku, hatimu?

Jawabannya? Entah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun