Slamet membuang muka kala Margio melintas. Di ekor matanya terpercik kebencian. Setelah pemuda berbaju koko dan kopiah putih itu benar-benar lenyap, Slamet kembali menyesap kopi hitamnya. Rasanya lebih pahit dari sejenak yang lalu, sebelum Margio lewat dan mengucap salam padanya.
“Dasar munafik!" kata Slamet. Suaranya ditekan pelan, namun kawan-kawannya di warung kopi bisa mendengar serapah Slamet dengan jelas. Kebencian Slamet pada Margio bukan tanpa alasan. Ia merasa sudah dikhianati oleh Margio.
Ketika masih sekolah dasar, Slamet adalah seorang anak pendiam, tubuhnya kurus dengan koreng di mana-mana. Anak-anak di sekolah memanggil Slamet dengan julukan “si koreng”. Tidak hanya dapat julukan yang buruk, Slamet kecil juga sering dipukuli atau sekadar ditoyor sambil lalu oleh anak-anak yang punya badan lebih besar. Dia tidak berani melawan dan juga terlalu takut untuk melapor pada guru atau orang tuanya.
Suatu hari Margio dan keluarganya pindah di dekat rumah Slamet. Awalnya Slamet mengira Margio adalah anak SMP karena punya badan yang lebih besar dari semua teman sekolahnya. Ternyata Margio seusia dengannya dan kebetulan disekolahkan di tempat dan kelas yang sama dengan Slamet. Bertambah satu orang yang akan menindasku, pikir Slamet kala itu.
Dugaan Slamet salah. Meski perangainya buruk, sering bolos dan melawan guru, Margio amat baik pada Slamet. Anak baru itu selalu membela Slamet saat sedang dirundung. Satu hari, Margio memukul semua anak yang memanggil Margio dengan nama “si koreng”. Margio dihukum berat, tetapi sejak itu tidak ada lagi yang berani mengganggu Slamet. Slamet jadi dekat dengan Margio dan singkat cerita mereka berdua menjadi sahabat.
Saat beranjak dewasa, tanpa disadari sifat-sifat Margio menular pada diri Slamet. Ia berubah dari seorang anak pendiam menjadi pembuat onar. Kemudian bersama Margio, Slamet memulai karirnya sebagai preman pasar. Tidak ada yang berani pada dua sekawan ini, terlebih pada Slamet. Tubuhnya boleh lebih kecil dari pemuda lain, tetapi kalau sudah berkelahi, Slamet bisa lebih beringas dari seekor anjing gila.
Saat itu hidup sangat menyenangkan bagi Slamet. Dia tidak perlu capek-capek bekerja untuk mendapat uang, bisa mabuk kapan saja tanpa ada yang melarang, dan semua perintahnya akan dituruti orang lain. Dia merasa dirinya menjadi raja diraja bersama Margio sahabatnya.
Sayang, semua kesenangan itu harus berakhir karena Margio yang tiba-tiba bertobat. Menurut berita yang beredar, Margio tobat lantaran sempat mati. Selama beberapa jam, Margio berhenti bernapas. Ketika tubuhnya mau dimandikan, ia hidup lagi. Saat mati itu, Margio mengaku melihat neraka. Panasnya sempat membakar tubuh Margio sampai-sampai otaknya mendidih dan meleleh keluar dari lobang telinganya.
"Aku tahu akal bulusnya. Pura-pura mati dan bertobat. Cukup pintar buat menipu orang-orang, tapi tidak padaku. Dia bertingkah seperti itu lantaran mengincar anak Pak Haji Soleh. Dia pernah mengaku padaku," sambung Margio pada kawan-kawannya.
Suatu hari yang lalu di pasar, Margio bertemu dengan seorang gadis yang tak pernah dilihatnya. Margio langsung jatuh hati pada gadis yang ternyata adalah anak Pak Haji Soleh yang baru pulang dari pesantren. Rasa sukanya pada sang gadis diceritakan kepada sahabatnya, Slamet. Kata Margio, dia akan melakukan segala hal demi mendapatkan sang gadis.
“Lihat saja, kalau rencananya ini gagal, atau katakanlah berhasil mendapatkan anak Pak Haji, Margio pasti kembali lagi pada sifat aslinya,” kata Slamet dengan yakin. Kawan-kawannya mengangguk, lebih karena tidak ingin menentang Slamet.