Latar Belakang
Laut Cina Selatan, sebuah perairan yang strategis dan penting secara ekonomi, telah menjadi pusat perselisihan teritorial selama beberapa dekade. Konflik ini melibatkan beberapa negara, masing-masing dengan klaim yang tumpang tindih atas pulau-pulau dan perairan di Laut Cina Selatan. Bagi Indonesia, konflik ini merupakan ancaman yang signifikan terhadap kedaulatannya, terutama di wilayah Kepulauan Natuna, yang terletak di tepi selatan perairan yang disengketakan.
Laut Cina Selatan kaya akan sumber daya alam, termasuk ikan dan potensi cadangan minyak dan gas, sehingga menjadikannya sebagai wilayah yang diperebutkan. Klaim Cina, yang diwakili oleh "Nine-Dash Line", mencakup sebagian besar wilayah laut tersebut, yang tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) beberapa negara Asia Tenggara, termasuk ZEE Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna. Meskipun Indonesia tidak mengklaim bagian mana pun dari Kepulauan Spratly atau Paracel yang disengketakan, Indonesia menghadapi pelanggaran di ZEE-nya.
Kepulauan Natuna tidak hanya penting secara strategis, tetapi juga kaya akan sumber daya. Perairan di sekitar pulau-pulau ini diyakini memiliki cadangan gas alam yang signifikan, yang sangat penting bagi ketahanan energi dan pembangunan ekonomi Indonesia. Daerah penangkapan ikan juga sangat penting bagi ekonomi lokal dan ketahanan pangan. Oleh karena itu, setiap ancaman terhadap kontrol Indonesia atas wilayah Kepulauan Natuna dapat memiliki dampak ekonomi yang signifikan.
Kapal-kapal penangkap ikan Cina, yang sering kali disertai dengan kapal penjaga pantai, telah sering dilaporkan berada di perairan sekitar Kepulauan Natuna. Serangan-serangan ini menantang kedaulatan dan hak-hak maritim Indonesia sebagaimana diuraikan oleh Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS). Sebagai tanggapan, Indonesia telah memperkuat kehadiran militernya di wilayah tersebut, melakukan latihan angkatan laut, dan meningkatkan patroli penjaga pantai. Indonesia juga telah meningkatkan upaya diplomasi untuk menggalang dukungan internasional bagi integritas teritorialnya.
Sikap dan Tantangan Indonesia
Indonesia secara konsisten menyatakan bahwa Indonesia bukanlah negara pengklaim dalam sengketa Laut Cina Selatan. Namun, Indonesia semakin terseret ke dalam pertikaian tersebut karena kedekatan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia dengan wilayah-wilayah yang disengketakan. Keberadaan daerah penangkapan ikan yang kaya dan cadangan minyak dan gas yang potensial membuat Kepulauan Natuna menjadi target yang menarik untuk dirambah oleh negara-negara pengklaim lainnya.
Tantangan utama bagi Indonesia adalah sikap agresif Cina, yang telah mengklaim sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan melalui "Nine Dash Line" yang tumpang tindih dengan ZEE Indonesia. Armada penangkapan ikan Cina, yang sering kali disertai dengan kapal penjaga pantai, telah diketahui menangkap ikan di perairan Indonesia, yang menyebabkan kebuntuan diplomatik dan penyitaan kapal-kapal nelayan Cina oleh pihak berwenang Indonesia.
Sikap Indonesia dalam konflik Laut Cina Selatan secara umum dipandang sebagai netral dan non-blok, dengan menekankan pentingnya resolusi damai dan kepatuhan terhadap hukum internasional. Namun, ketegangan yang sedang berlangsung membutuhkan tindakan penyeimbangan yang rumit dalam kebijakan luar negerinya. Indonesia secara aktif berpartisipasi di ASEAN, mengadvokasi pendekatan kolektif untuk mengatasi sengketa Laut Cina Selatan. Indonesia juga terlibat dalam dialog bilateral dan multilateral untuk meredakan ketegangan dan mendorong stabilitas regional.
Implikasi untuk Kedaulatan
Penyerangan ke ZEE Indonesia mengancam kedaulatan negara dalam beberapa cara. Pertama, hal tersebut melemahkan otoritas Indonesia atas perairannya sendiri, sehingga menantang kemampuan negara untuk menegakkan hukum dan melindungi sumber dayanya. Kedua, bentrokan yang sering terjadi berpotensi meningkat menjadi konfrontasi militer, yang dapat mengganggu kestabilan kawasan dan mengancam perdamaian.