Pemerintah Negara Indonesia dan DPR RI saat ini sedang membahas rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi. Pembahasan RUU ini mendapat perhatian besar dari banyak kalangan, terutama akademisi dan mahasiswa. Banyak kalangan yang mempertanyakan aspek historis dari pembahasan RUU ini. Jika berkaca pada falsafah bernegara bangsa Indonesia, liberalisasi pendidikan yang berorientasi profit bertentangan dengan amanat konstitusi yang terkandung dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 yang menegaskan pemerintah negara Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 ditegaskan bahwa pendidikan adalah hak seluruh rakyat Indonesia. Dari penejalasan UUD diatas sangat jelas bahwa Negara harus mampu menyediakan kegiatan pendidikan secara mandiri dan bukan malah menjual sector pendidikan untuk dikelola asing. Awal kemunculan RUU ini adalah sebagai konsekuensi yang harus diterima Indonesia ketika memutuskan bergabung dengan World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994. Dengan memutuskan bergabung dengan WTO, maka Indonesia harus mau menandatangai General Agreement on Trade and Services (GATS) yang berisi peraturan untuk meliberalisasi berbagai macam sector jasa, termasuk pendidikan.
Menurut Prof. Dr. Sofian Effendi, WTO sudah mengidentifikasi 4 model yang bisa diterapkan, yaitu (1) cross-border supply, institusi Perguruan tinggi luar negeri menawarkan kuliah melalui internet, (2) consumptions abroad, mahasiswa belajar di Perguruan tinggi luar negeri, (3) commersial presence, kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal, (4) presence of natural persons, pengajar asing mengajar pada perguruan tinggi lokal. Dalam pelaksaan kebijakan ini dinegara lain, para Negara pencetus ide (Amerika, Australia, Inggris) telah mendapatkan keuntungan yang luar biasa. Total pendapatan ketiga Negara ini dari hasil “menjual jasa” pendidikan ke Negara berkembang mencapai 17,2 milyar dollar.
Pendapatan sebesar ini jelas sangat menguntungkan bagi Negara yang memiliki sumber daya manusia yang unggul, ekonomi yang baik, dan teknologi yang maju seperti tiga Negara pencetus liberalisasi pendidikan tersebut. Konsep dasar pendidikan setelah diberlakukannya kebijakan ini akan berubah. Pendidikan, yang sebelumnya merupakan pelayanan social dan wajib diberikan oleh Negara sendiri akan menjadi lahan bisnis yang selalu mengedepankan prinsip untung rugi. Jika berbicara dalam konteks Indonesia, memang pembahasan RUU akan terus menjadi perhatian dan menimbulkan kritik dari sebagian besar akademisi. Meskipun dalam RUU ini juga diajukan beberapa persyaratan bagi perguruan tinggi asing untuk bisa menyelenggarakan pendidikan di Indonesia.
Persayaratan tersebut diantaranya adalah perguruan tinggi asing harus sudah terakreditasi di Negara asalnya. Dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan di Indonesia, perguruan tinggi asing wajib menjalin kerjasama dengan perguran tinggi yang ada di Indonesia. Termasuk membolehkan dosen WNI untuk bekerja di perguruan tinggi asing. Namun tetap saja liberalisasi, khususnya liberalisasi pendidikan merupakan interdependensi yang tidak simetris antarnegara, lembaga, dan aktornya sehingga hanya akan menguntungkan Negara yang memiliki kedaulatan secara ekonomi, dalam hal ini adalah Negara barat.
Masih menurut Prof Sofian, pendidikan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN yang tergabung dalam Asean Univercity Network (AUN) ataupun Association of Southeast Asia Institute of Higher Learning (ASAIHL), seperti Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura, Indonesia jauh tertinggal dalam tingkat partisipasi pendidikan tinggi atau mutu akademik. Pada tahun 2004, tingkat partisipasi pendidikan tinggi Indonesia baru mencapai 14%, jauh tertinggal dari Malaysia dan Filipina yang sudah mencapai 38-40%.
Melihat fakta di atas, dirasa belum saatnya pemerintah menerapkan liberalisasi pendidikan di Indonesia. Secara kualitas kita masih jauh tertinggal. Jika harus ditambah dengan persaingan bebas dengan perguruan tinggi asing dengan menawarkan paket pendidikan yang lebih menarik maka akan banyak universitas swasta kelas menengah di daerah yang tidak sanggup bertahan. Belum lagi biaya pendidikan yang akan melonjak drastic sebagai akibat dari pelaksanaan RUU ini.
Biaya mahal tentu saja akan mengubur impian warga kelas social bawah(penduduk mayoritas di Indonesia) untuk memperbaiki kesejahteraan hidupnya. Seharusnya pemerintah memberikan perhatian lebih dalam bentuk pengalokasian anggaran yang besar kepada perguruan tinggi negeri dan swasta yang ada di daerah (tidak lagi berfokus pada perguruan tinggi besar) sehingga kualitas pendidikan tinggi dapat merata di seluruh daerah.
Alokasi tersebut dapat digunakan untuk pemberian program beasiswa dengan cakupan yang lebih besar kepada masyarakat kelas social bawah dan peningkatan mutu/kualitas perguruan tinggi di daerah. Namun tentu saja, pemberian anggaran tersebut harus diawasi dengan ketat agar tidak keluar dari tujuan awal. Stimulan semacam itu dinilai akan memberikan dampak baik bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.
Disamping akan meratakan mutu pendidikan tinggi di daerah, efek lain dari stimulant tersebut tentu saja akan lebih meningkatkan partisipasi warga dalam pelaksanaan pendidikan tinggi. Dengan perbaikan mutu pendidikan tinggi di daerah dan partisipasi pendidikan tinggi yang meningkat, maka diharapkan Negara ini memiliki masyarakat berintelektual tinggi yang lebih banyak dan mampu memajukan Negara Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H