Resume dari: “All Mixed Up? Instrumental and Emancipatory Learning Toward a More Sustainable World: Considerations for EE Policymakers”, Arjen E. J. Wals et.al.
Pembangunan berkelanjutan saat ini menjadi isu utama dalam agenda kebijakan internasional, nasional, dan lokal di banyak Negara di dunia. Pemerintah Belanda misalnya, menganggap pendidikan lingkungan atau Enivironmental Education(EE) dan pembelajaran untuk pembangunan berkelanjutan atauLearning for Sutainable Development (LSD) sebagai instrumen kebijakan komunikatif untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan di masyarakat.
Baru-baru ini, Badan Lingkungan Belanda atau Netherlands Environmental Assessment Agency (MNP) melakukan studi terkait efektivitas kebijakan EE yang ada (Sollart, 2004). Studi ini mengungkapkan bahwa terbatasnya informasi yang tersedia tentang cara instrumen pendidikan dalam meningkatkan keberlanjutan terhadap pekerjaan masyarakat dalam prakteknya. Oleh karena itu MNP menugaskan sebuah proyek penelitian lanjutan untuk memeriksa bagaimana pendekatan kebijakan yang berbeda untuk EE tercermin dalam proses praktek EE itu sendiri.
Studi ini meneliti manifestasi kebijakan EE dalam upaya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:
- Bagaimana berbagai pendekatan EE memberikan kontribusi terhadap proses yang mengarah pada praktek-praktek baru yang lebih berkelanjutan dari pada pihak yang hanya berupaya untuk merubahnya? Bagaimana penggunaan pendekatan ini atau "instrumen" ini diperkuat dan ditingkatkan?
- Bagaimana bisa pembuat kebijakan EE menjadi lebih berkompeten dan efektif dalam menggunakan instrumen komunikatif sebagai upaya menggerakkan masyarakat menuju keberlanjutan?
- Apa peran dari pengetahuan dalam pendekatan-pendekatan ini?
Proyek penelitian ini mempelajari tiga pendekatan untuk EE: yang pertama dapat diklasifikasikan sebagai didominasi instrumental, yang kedua dapat disebut juga sebagai emansipatoris, dan yang ketiga berupaya untuk mencampuri atau menggabungkan keduanya.
Pendidikan Lingkungan Instrumental dan Komunikasi
Pendekatan instrumental ini mengasumsikan bahwa hasil perilaku yang diinginkan dari suatu kegiatan EE diketahui, (kurang lebih) menyepakati, dan dapat dipengaruhi oleh intervensi yang dirancang dengan penuh pertimbangan. Sederhananya, sebuah pendekatan instrumental untuk EE dimulai dengan merumuskan tujuan khusus dalam hal perilaku yang disukai, dan menganggap "kelompok sasaran" sebagai "penerima yang pasif " yaitu aktor yang perlu dipahami dengan baik terkait efek intervensi komunikatif. Dalam pendekatan ini, terdapat kesamaan dengan model pendekatan dari Ajzen dan Fishbein (1985) dalam Wals et all (2008: 56-57) di mana dijelaskan bahwa terdapat beberapa poin penting yang tergantung pada hasil analisis perilaku dengan beberapa aspek intervensi (peningkatan kesadaran terhadap suatu masalah, mempengaruhi norma sosial, sikap, meningkatkan kemampuan diri, kontrol diri atau kombinasi yang dirancang dengan memperhitungkan segala aspek.
Pemerintah Belanda, dan banyak pemerintah lain di seluruh dunia dalam hal ini, menggunakan dan mendukung berbagai kegiatan pendidikan dan strategi komunikasi untuk mempengaruhi perilaku lingkungan masyarakat: kampanye kesadaran, iklan layanan masyarakat (ILM), pelabelan lingkungan dan skema sertifikasi, tetapi juga program pendidikan lingkungan dan kegiatan yang telah jelas ditentukan tujuannya.
Tetapi terdapat persoalan pro-kontra di dalam pendekatan ini. Di antaranya kritik dari pengguna instrumen pendidikan lingkungan. Yang berpendapat bahwa menggunakan pendidikan untuk mengubah perilaku masyarakat cenderung berkaitan dengan manipulasi dan indoktrinasi dari pendidikan. Namun, pihak yang mendukung justru berpendapat bahwa, karena masa depan planet kita yang dipertaruhkan, maka menggunakan segala cara yang tersedia adalah sah.
Pendidikan Lingkungan Emansipatoris
Pendekatan emansipatoris pada dasarnya, mencoba untuk melibatkan masyarakat dalam dialog aktif untuk menetapkan tujuan bersama, berbagi makna, dan rencana bersama yang ditentukan sendiri dari suatu tindakan untuk melakukan perubahan mereka sendiri sesuai yang diinginkan. Yang pada akhirnya memberikan kontribusi pada masyarakat dengan lebih berkelanjutan secara keseluruhan (Wals & Jickling, 2002).
Pemerintah Belanda telah menetapkan suatu kebijakan yang secara khusus fokus untuk menciptakan ruang bagi partisipasi beberapa stakeholder dalam membangun kehidupan yang lebih berkelanjutan. Selain melibatkan beberapa stakeholder secara aktif, pemerintah Belanda juga mengakomodasi suara dari setiap masyarakat, termasuk yang terpinggirkan untuk didengar. Akan tetapi, beberapa kelompok mengkritik pendekatan ini. Kelompo-kelompok tersebut berasumsi bahwa tidak semua pihak memiliki pengetahuan, pemahaman dan kesadaran yang sama terhadap suatu hal yang baik maupun buruk bagi lingkungan.
Penggabungan Antara Pendidikan Lingkungan, Komunikasi dan Partisipasi
Sosiolog lingkungan Belanda Gert Spaargaren, didasarkan pada teori strukturasi Gidden untuk membuat model yang menghubungkan pendekatan yang berorientasikan aktor dengan pendekatan yang berorientasikan struktur (Spaargaren, 2003). Spaargaren melakukan proses ini dengan meletakkan praktik sosial di pusat, di mana manusia dimediasi oleh gaya hidup. Model Spaargaren ini bisa juga dianggap sebagai jembatan antara instrumental klasik, sikap lingkungan dan pendekatan perilaku yang lebih emansipatoris. Pada saat yang sama, model ini memperhitungkan pengaruh (dalam konteks teknologi) struktur sosial terhadap perilaku (Spaargaren et al., 2006).
Pemerintah Belanda semakin menyadari pentingnya dalam menangani praktek sosial ini dan gaya hidup, daripada hanya berfokus pada merubah sikap dan perilaku masyarakat, terutama dalam program pendidikan kesehatan dan komunikasi. Berangkat dari perspektif penguasaan, model praktik sosial ini menunjukkan penekanan kuat pada partisipasi masyarakat secara aktif di dalam pemerintahan. Martens dan Spaargaren (2005) berpendapat bahwa perubahan politik yang terjadi di Belanda pada saat ini merupakan hasil dari kerja pemerintah itu sendiri, bukan dari aktor atau kelompok lain.
Dalam prosesnya, pendekatan ini muncul dan terus ditingkatkan hingga sekarang dan mulai mendapat sedikit perhatian dari kalangan pendidikan lingkungan. Masih terlalu dini untuk mencoba mengartikulasikan atau berusaha menggabungkan pandangan antara pendukung dan "lawan" terkait pendekatan campuran ini.
Refrensi
Arjen E. J. Wals et.al, 2008. All Mixed Up? Instrumental and Emancipatory Learning Toward a More Sustainable World: Considerations for EE Policymakers. Considerations for EE Policymakers. UK : Routledge.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H