Cuaca ekstrem memang menjadi salah satu rubrik paling sering diulas berbagai media. Setidaknya hal itu harus diakui menjadi salah satu warna pada tutup tahun 2018 lalu. Secara khusus di Jogja, paling tidak tiga bulan belakangan panas hujan silih berganti cepat sekali. Bahkan pada sesekali waktu hujan bisa saja turun begitu ironis, padahal hari itu sedang panas-panasnya. Terakhir demikian yang saya rasakan pada minggu kemarin.
Banjir dan tanah longsor di Jogja belakangan memang kerap terdengar ditelinga. Bencana alam tersebut kerap melanda daerah Jogja pinggiran, baik itu wilayah lereng dataran tinggi seperti wilayah Gunungkidul dan Kulonprogo. Namun terbaru, yang kemarin gempar ialah banjir yang melanda warga wilayah Seyegan, Sleman.
Ngayomi, Ngayemi, Ngayani
Banjir, menjadi bencana yang tak melulu disebabkan oleh alam; tidak selalu disebabkan oleh lingkungan. Namun harus diakui bahwa banjir menjadi 'aktualisasi' degradasi lingkungan pertama-tama akibat sampah yang belum menyeluruh kejelasan pengelolaannya. Masih ada segementasi masyarakat yang bertekun pada kebiasaannya buang sampah di sungai atau kali terdekat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H