Masih lekat dalam ingatan peristiwa sembilan tahun silam. Kala itu tanggal 23 Oktober 2010. Hujan abu pertama kali turun, pekat sekali. Saat itu saya masih bertempat tinggal dikawasan Seturan, Yogyakarta. Teman-teman kost mendadak riuh pagi itu, sekitar pukul sepuluh pagi. Masih ingat juga bahwa hari itu adalah hari Jumat.
Rupanya hari itu menjadi awal dari rentetan siklus Gunung Merapi meletus. Banyak korban, minimal warga terdekat mesti berpindah sementara di tempat pengungsian. Hingga yang paling tenar adalah wafatnya sang juru kunci Merapi; mbah Marijan. Bekas-bekas kejadian sembilan tahun silam masih ada yang dapat dilihat mata sampai sekarang. Pun demikian kuda besi saya, masih ada bekas abu yang masuk dalam speedometer kuda besi; tak mau hilang; ahh biarlah.
Hampir setahun terakhir situasi merapi kerap fluktuatif dalam predikat waspada. Beberapa spekulasi diberikan oleh pihak-pihak berkompeten perihal letusan yang akan terjadi kemudian. Namun paling tidak hingga seminggu terakhir belum ada berita signifikan, warga terdekat pun belum diperintahkan untuk segera berpindah.
Namun hari ini mendadak media-media Jogja menyajikan potret-potret yang menandakan sepertinya Merapi mulai menandakan untuk "lepas landas". Seperti dikutip laman Jogjaupdate, beberapa orang mulai mendokumentasikan gunung teraktif ini mulai menggeliat.
Lantas bagaimana sebaiknya kita bertindak?
Kejadian alam memang tidak semuanya bisa diprediksi tepat melalui teknologi mutakhir. Namun paling tidak melalui media yang kian dekat aksesibilitasnya, kita mampu menakar segala kemungkinan yang akan terjadi; termasuk tindakan apa yang seharusnya dilakukan.Â
Apalagi siklus Merapi sebenarnya bisa untuk diperkirakan regularitasnya. Empat hingga sepuluh tahun, pasti ada aktivitas. Sehingga saya pikir pemantauan yang terus-menerus kepada media massa menjadi solusi yang menurut saya spontan bisa dilakukan tiap-tiap orang. 'Sisanya', biarkan pemerintah turut ambil bagian.
Tagline demikian nampaknya dapat menjadi salah satu solusi akan kekhawatiran atas spekulasi yang mungkin terjadi akibat letusan Merapi. Seorang Bambang Soepijanto yang pertama mengusung tersebut. Sehingga hadirnya pemerintah tidak lagi "sebatas" datang belakangan, namun berperan pula dalam upaya-upaya preventif yang bisa diusahakan masyarakat. Memang Jogja sedang panas-panasnya, banyak yang mengasumsikan ini adalah salah satu "ulah" Merapi. Apapun itu, semoga kita mampu untuk mengantisipasinya semaksimal mungkin. Kemudian seandainya calon wakil rakyat nomor 24 ini terpilih nanti, semoga amanah; mampu untuk mengakomodasi kepentingan rakyat yang direpresentasikannya. Stay Strong Jogja!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H