Awal minggu menjadi waktu-waktu yang penat bagi sebagian orang. Senin malam pun menjadi penutup hari yang dinanti. Demikian terjadi juga di Jogja, sesudah maghrib menjelang jalan-jalan makin hari makin padat saja. Menggunakan kuda besi apalagi, ahh nikmati saja.
Namun ada yang menarik mata saat melintas jalan arah Stadion Kridosono. Didepan gedung Bentara Budaya Yogyakarta, sedang ada beramai orang duduk menikmat musik dengan pemandangan yang dekat antara penampil dan penontonnya. Jazz mben Senen, menjadi tawaran yang sulit untuk tidak diindahkan. Paduan jazz yang progresif namun dapat sedekat itu dinikmati, menjadikan aransemen musik seperti dibagikan pada audiens secara cuma-cuma; acara ini gratis memang.
Setiap orang diperkenankan maju, memilih instrumen yang disukai pun bagi mereka yang gemar bersenandung. Tidak ada latihan, semuanya on the spot menampilkan aransemen yang dadakan tersebut. Oleh sebab jazz adalah musik yang arbitrair memang, jadinya tiap orang begitu saja menampilkan kelihaiannya dan begitu saja terdengar indah.
Berkomunitas seperti bagian dalam selarasnya lingkungan hidup, dalam konteks Yogyakarta menjadi sangat terasa manfaatnya. Berkomunitas seperti yang ditawarkan oleh JMS berarti persuasi untuk masuk dalam iklim keseharian yang sehat. Dapat diartikan pula sebagai wadah kreatif bagi mereka yang ingin 'gas buang' atas penatnya rutinitas keseharian. Keselarasan ini juga digagas oleh Bambang Soepijanto, menyadari bahwa lingkungan hidup di Jogja adalah harga mati untuk dijaga agar tetap asri.
Jadi bagi 'penganut' I hate Monday, sudah siap menuntaskan hari penat dengan hal yang indah-indah pada malamnya ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H