Isu lingkungan berikut sampah yang menjadi lokusnya, seperti angin lalu bagi sebagian kita. Masuk akal, sebab terkadang akibat yang ditimbulkan tidak langsung terasa. Banyak pula kampanye-kampanye yang dalam slogannya berujar kerusakan lingkungan menjadi beban bagi anak cucu kita kelak. Hitungan matematis yang coba ditelisik oleh para ahli pun terkadang masih abstrak dalam pola pikir kita, kemudian pesimis atas hasil sains; tidak jarang apatis.
Belakangan isu ini mengkondisikan masyarakat dalam situasi opositoris; antara si acuh atau si environmentalis. Kedua pihak saling beradu, mana diantara mereka yang paling sahih dan mana yang 'ternyata' menggunakannya demi meraup rupiah. Se 'paten' itu memang situasinya, sebab sejauh yang didengar yakni satu pihak terlihat begitu gigih menjaga dan mempersiapkan 'masa depan cerah'; sedang sisanya bisa begitu saja dianggap tidak peduli.
Ekosida, istilah ini saya baca dikemukakan oleh Jared Diamond dalam bukunya berjudul "Collapse". Sebuah situasi dimana nantinya akan terdapat proyeksi bahwa eksistensi manusia dapat sedemikian rupa runtuh saat lingkungan berubah menjadi si 'pembunuh'. Ia mengetengahkan berbagai macam kasus yang terjadi dibeberapa tempat didunia' terutama yang pernah disambanginya sendiri. Situasi menuju ekosida menurutnya memang tidak bisa dilawan, namun setidaknya bisa diinisiasi kesadarannya sejak dalam pikiran.
Lantas bagaimana di Yogyakarta, saya tidak akan jauh-jauh cukup merefleksikan berbagai kejadian disekitar tempat tinggal. Sekitar Jalan Monjali, tembusan belakang TVRI. Menempati sebuah rumah ditahun 2016, relatif singkat ternyata untuk dapat melihat aktivitas masyarakat sekitar atas kebiasaan berikut akibat lingkungan yang ditimbulkan.
Masih ingat saat musim hujan begini, saat itu intensitasnya besar. Alhasil ada bagian halaman depan rumah yang longsor. Mencoba mencari jalan keluar oleh sebab tempat ini terletak dibantaran kali, beberapa kali proposal bantuan perbaikan talud saya sampaikan terakhir sampai kecamatan. Namun naas, selain hasilnya nihil longsoran juga kian lebar dari waktu ke waktu. Berbicara dengan kenalan yang mengerti keadaan ini dari sisi keilmuan, katanya sampah turut serta dalam pendangkalan sungai sampai longsor hasil akhirnya.
Gelisah buang sampah ternyata juga dirasakan tetangga sebelah. Lebih 'nyata' dari pemerintah, beliau lantas membuat banner berisi persuasi terkait kesadaran warga terhadap sampah. Bukan tanpa alasan, tiap pagi mulai lepas subuh bisa didengarkan gelontoran kresek besar jatuh dilempar dari atas jembatan. Kalau memang si pembuang itu tidak merasa salah, untuk apa mereka tancap gas begitu pintu rumah saya buka? Kalau memang klaim salah terlalu menghakimi, pun saya setuju jika predikatnya diganti dengan kata acuh.
Dalam hati saya menagih perubahan, paling tidak sebagai timbal balik atas usaha yang sudah dilakukan. Ingin rasanya menyuarakan ini langsung dihadapat pemerintah terkait, sayang selalu tidak terjangkau. Pendek analisis saya kemudian mengasumsikan bahwa isu lingkungan hanya berlaku bagi mereka yang terdampak langsung kerusakannya. Selebihnya, justru merasa tergelitik atau bahkan mencari celah agar kebiasaan mereka tidak harus diubah.
Lingkungan sebetulnya juga tidak perlu diperlakukan se 'spesial' itu; cukup dijaga saja keserasiannya. Keserasian lingkungan hidup, ada 'takbir' demikian yang diutarakan Bambang Soepijanto menyongsong partisipasinya dipemerintahan. Sehingga, bukanlah salah jika aliran air mengikis tanah saat jalannya disumbat sampah yang tertambat. Biarlah sungai pada jalurnya. Sedangkan sampah, ahh cukup mahal kah sekarang menyerahkannya pada petugas kebersihan dengan truk nya yang rutin melintas didepan rumah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H