"Nasi Telor satu!"Â
Seorang mahasiswa memesan menu sarapannya sebelum berangkat kuliah. Beda dengan saya yang lebih dulu datang menghadap kopi hitam dan menyantap gorengan yang baru saja diangkat dari wajan; masih panas namun minyaknya sudah ditiriskan.Â
Burjo ini memang jadi langganan banyak orang. Bagi saya, selain dekat tempat tinggal, juga selalu ada tempe, bakwan, dan tahu isi yang siap disantap. Burjo, yang dulu merupakan warung khas Kuningan ini dikenal karena menjual Bubur Kacang Ijo. Namun belakangan tempat ini dinamai dengan tidak mengejawantahkan dagangan yang dijual.
Alasannya lumrah, pas di kantong dan banyak pilihan menu. Silahkan anda lihat di salah satu tembok, burjo selalu menyertakan pilihan berikut harga yang tertera.
Tidak akan menjadi ikon jika tanpa sajian menu yang ikonik, ya angkringan menawarkan nasi kucing menjadi menu andalan. Nasi putih, ditumpuk dengan pilihan lauk terik tempe atau sambel teri; dilipat kecil menggunakan kertas minyak maupun daun pisang serta di luarnya dibungkus dengan kertas koran.Â
Dihargai rata-rata dua ribu rupiah per bungkusnya, tempat ini juga menjadi pilihan makan yang "belum tentu kenyang". Selain nasi kucing, kekhasan angkringan terletak pada anglo yang menjadi perapian utama dan di atasnya terdapat tiga ceret berjejer teh, air panas, dan jahe pada tiap isiannya.
Mengusung Tema "Usaha Ritel"
Kesamaan yang terdapat dari kedua tempat di atas yakni berada di banyak lokasi di Yogyakarta. Pada jalan-jalan protokol seperti Jalan Kaliurang dan Jalan Magelang, sedikitnya tiga sampai belasan stand yang dapat ditemui sepanjang jalan. Tidak semuanya, namun kebanyakan satu pemilik usaha bisa mengoperasikan beberapa tempat sekaligus dengan adanya pekerja di masing-masing tempat.Â
Meskipun terlihat menu yang dijual relatif murah, namun ternyata ongkos belanja per harinya bisa sampai jutaan. Sehingga keduanya jika ditilik lebih lanjut dari sisi keuntungan, menjadi bisnis yang menjanjikan.
Menawarkan Keakraban
Baik burjo maupun angkringan, sama-sama menawarkan keakraban baik dari si penjual maupun suasana yang dirasakan sesampainya di sana. Sudah menjadi prasyarat saat penjual harus berhasil menyajikan suasana nyaman tersebut. Oleh sebab konteks lokasi ini di Jogja, maka basa jawa juga menjadi keseharian di kedua tempat; bahkan sudah banyak burjo yang mengadaptasi metode yang sama.