Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Sengketa Pulau Sipadan dan Ligatan (1967)

23 Februari 2018   07:22 Diperbarui: 23 Februari 2018   07:52 2566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: travelingyuk.com

    Sipadan (50.000meter2) dan Ligitan (18.000meter2) adalah dua pulau yang berada di Selat Makasar. Sengketa ini melibatkan 2 negara, yaitu Indonesia dan Malaysia. Persengketaan dimulai dari tahun 1967 yang mana di bahas pada pertemuan teknis hukum laut antar dua negara tersebut, yang mana Indonesia dan Malaysia menaruh pulau Ligatan dan Sipadan pada batas-batas negaranya. Hal ini tentu membuat kebingungan, milik siapakah Sipadan dan Ligatan itu?

    Sebelum hal ini di bawa ke jenjang yang lebih tinggi, kedua negara sepakat untuk menganggap kedua wilayah sebagai wilayah status quo. Status quo adalah kata yang sering digunakan pada ilmu politik dan sosial. Di kasus ini, status quo berarti keberadaan negara dimana wilayah tersebut tidak boleh diambil keuntungannya, atau dengan nama lain wilayah Sipadan dan Ligatan bukan wilayah Indonesia atau Malaysia untuk sementara. 

Di perjanjian status quo ini, Indonesia dan Malaysia mempunyai perbedaan paham mendasar. Malaysia beranggapan bahwa status quo adalah keadaan dimana kedua pulau tersebut tetap milik Malaysia sebelum sengketa di selesaikan, sedangkan Indonesia beranggapan bahwa status quo adalah keadaan dimana kedua negara tidak boleh menempati dan mengunjungi tempat tersebut sebelum sengketa diselesaikan.

    Cikal bakal dari masalah ini adalah ketika Malaysia membangun tempat pariwisata yang berbasis resort pada Sipadan dan Ligatan. Resort itu berisikan kurang lebih 20 cottage yang di bawah perusahaan swasta Malaysia. Karena itu, Indonesia mengirimkan semacam komplain ke Kuala Lumpur. Lebih parahnya, pada tahun 1969, Malaysia sepihak menentukan kedua pulau tersebut miliknya dan memasukkan ke dalam peta nasional Malaysia.

    Indonesia beritikad untuk menyelesaikan masalah ini ketika dilakukan KTT pada tahun 1976 di pulau Bali. Tetapi Malaysia menolak karena Malaysia juga memiliki sengketa dengan negara-negara lain seperti Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dan lain-lain. Sekitar 30 tahun berlalu, kedua pulau tersebut dalam posisi sengketa, baik karena Indonesia yang kokoh dalam pendapatnya bahwa pulau tersebut milik Indonesia dari jaman penjajahan Belanda, dan pendapat Malaysia sendiri bahwa pulau tersebut milik Malaysia sejak penempatan Inggris. 

Akhirnya pada tahun 1997, Indonesia dan Malaysia sepakat untuk membawa hal ini ke Mahkamah Internasional. Pada tahun 1998, resmi bahwa kesepakatan ini di sampaikan ke Mahkamah Interrsnasional, melalui joint letter. Setelah melewati beberapa tahapan, seperti pendapat tertulis atau written pleadings,dan juga pendapat lisan atau oral pleadings, pada tahun 2002 akhirnya Mahkamah Internasional telah mengeluarkan keputusan bahwa kedua pulau tersebut menjadi milik Malaysia atas dasar keefektifan.

    Dasar keefektifan tersebut berasal dari Inggris yang sejatinya telah membudidayakan pulau tersebut, seperti pajak telur penyu pada tahun 1930, operasi mercusuar dan lain-lain. Karena Malaysia adalah bekas negara kolonial Inggris, maka Mahkamah Internasional memilih Malaysia lebih berhak mendapatkan kedua pulau tersebut. Lebih jelasnya dari 17 hakim di perundingan tersebut, 16 memilih Malaysia dan 1 hakim memilih Indonesia, 15 di antaranya adalah hakim tetap Mahkamah Internasional. 

Selain dasar keefektifan, Indonesia juga kalah dalam hal pendudukan, karena kebanyakan warga Indonesia di pulau tersebut masih bergantung kepada Malaysia, seperti telepon, televisi dan lain-lain.

    Pada kasus ini saya berpendapat bahwa salah bagi Malaysia untuk melanggar perjanjian tersebut, seperti kesepakatan status quo yang membahas bahwa kedua pulau tidak boleh ditempati sampain sengketa selesai, tetapi Malaysia meneruskan kegiatan seperti menangkap ikan, pariwisata dan lain-lain dengan alasan perbedaan paham status quoitu sendiri. 

Pada dasarnya, asas-asas yang mengatur perjanjian internasional adalah Pacta Sunt Servanda yang menjelaskan bahwa negara yang terikat pada perjanjian internasional, harus senantiasa menaati ketentuan, keputusan, ketetapan dan kesepakatan yang tertera di perjanjian tersebut.  Yang kedua, Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut dalam peta nasionalnya ketika kedua pulau tersebut masih dalam keadaan sengketa. Lalu, keputusan Mahkamah Internasional terdengar logis, karena Inggris yang banyak melakukan bukti nyata atau kerja nyata pada kedua pulau tersebut, maka Malaysia lah yang mendapatkannya karena sejatinya Malaysia bekas kolonial Inggris. 

Di lain sisi, Indonesia juga terlihat enggan untuk mengurusi kedua pulau tersebut, karena dapat dilihat dari keberadaan penduduk di pulau tersebut yang masih bergantung kepada Malaysia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun