Mohon tunggu...
gerry setiawan
gerry setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

aktivis jaringan epistoholik jakarta (JEJAK) Editor Buku "Internasionalisasi Isu Papua, Aktor, Modus, Motiv" Penerbit: Antara Publishing (2014)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sejarah Integrasi Papua versi Pimpinan Gereja-Gereja Papua

30 Desember 2011   23:50 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:33 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan terakhir saya berjudul “Mengenang 50 Tahun Operasi Trikora” membeberkan perjalanan panjang Sejarah Integrasi Papua menjadi bagian NKRI. Dan referensi sejarah itu tidak hanya tercatat dalam dokumen sejarah di Indonesia tetapi juga di dunia internasional. http://hankam.kompasiana.com/2011/12/19/mengenang-50-tahun-operasi-trikora/

Namun referensi sejarah integrasi Papua itu dinilai tidak sah oleh  Pimpinan Gereja-gerejadi Papua. Setidaknya itulah yang tergambar dalamSurat Terbuka mereka kepada residen SBY tanggal 16 Desember 2011, yang merekomendasikan kepada Presiden RI untuk segera mengabulkankeinginan rakyat Papua untuk merdeka dan berdaulat.

Inilah alasan sejarah versi Pimpinan Gereja-gereja di Papua :

Kami, Pimpinan Gereja Papua memandang lahirnya ‘Bayi Nasionalisme’ (separatisme) Papua ini sebagai hasil ‘Perkawinan Paksa’ Jakarta – Papua yang proses sejarahnya tercatat sebagai berikut:

·19 Desember 1961, Soekarno yang secara sepihak menguburkan embrio satu negara Papua Barat yang ditetapkan pada 1 Desember 1961 dengan mengumandangkan Trikora; sekaligus menyingkirkan Komite Nasional Papua yang telah mempersiapkan terbentuknya Negara Papua dengan menetapkan simbol-simbol negara yaitu, (a) Bendera Kebangsaan Papua, Bintang Fajar, (b) Lagu Kebangsaan Papua, Hai Tanahku Papua, dan (c) Lambang Negara adalah Burung Mambruk;

·15 Agustus 1962, Indonesia dan Belanda (tanpa keterlibatan wakil rakyat Papua) menandatangani Perjanjian New York;

·1 Oktober 1962, Pemerintah Belanda menyerahkan administrasi pemerintahan kepada UNTEA;

·1 Mei 1963, UNTEA menyerahkan administrasi pemerintahan ke RI tanpa keterlibatan rakyat Papua;

·Juli-Agustus 1969, Pemerintah merekayasa PEPERA (Act of Free Choice menjadi Act of No Choice) untuk mengintegrasikan Papua ke Indonesia.

· [caption id="attachment_152350" align="alignright" width="306" caption="Pimpinan gereja-gereja di Tanah Papua saat membacakan deklarasi penolakan Otsus di halaman Ktr DPRP 26 Januari 2011"][/caption] Kami mencatat hasil-hasil dari Kongres Rakyat Papua ke-3 pada 19 Oktober 2011 yang telah mereafirmasi gerakan pembebasan rakyat Papua melalui peristiwa 1 Desember 1961 dan kelanjutannya pada Kongres Rakyat Papua I, Musyawarah Besar Rakyat Papua dan Kongres Rakyat Papua II tentang lahirnya PDP dan Panel-Panel sebagai bentuk-bentuk ekspresi dari sebuah gerakan pembebasan rakyat Papua dari semua bentuk-bentuk kekerasan yang mengarah pada suatu bentuk penjajahan sistematis.

Kami menilai peristiwa-peristiwa  sejarah ini yang tidak melibatkan rakyat Papua ini sebagai akar masalah Papua (kekerasan: historis) yang melandasi konflik di Tanah Papua yang terus terjadi sampai dewasa ini.

http://suarabaptis.blogspot.com/2011/12/surat-terbuka-gereja-geraja-papua-untuk.html#more

Integrasi Papua Sah dan Diakui Dunia Internasional

Peneliti Papua asal LIPI, Muridan Wijoyo menjelaskan, Pepera itu digelar untuk menjalankan perintah dari perjanjian New York pada 1962, yang menyebutkan bahwa untuk memastikan apakah Papua bagian dari NKRI atau bukan harus dilakukan Pepera.  Pepera 1969 dihadiri oleh sekitar 1025 perwakilan rakyat Papua. Pepera digelar di sejumlah kabupaten antara lain di Jayapura, Biak, dan Merauke. Berdasarkan hasil Pepera saat itu, semua perwakilan menyatakan mau bergabung dengan RI.

"Hasil Pepera 1969 ini pun kemudian diakui oleh PBB dan dikeluarkan resolusi yang menyatakan Papua sebagai bagian yang sah dari NKRI. Resolusi ini juga disetujui 80 negara anggota PBB dan hanya 20 negara yang abstain," jelasnya. "Tidak ada negara di dunia yang menolak masuknya Papua ke Indonesia." Tegas Muridan.

http://fokus.vivanews.com/news/read/261252-faktor-rusuhnya-papua

Sebagai bahan pembanding, artikel saya berjudul “Mengenang 50 Tahun Operasi Trikora” dapat saya rangkum seperti di bawah ini :

1.Perkembangan dunia pada pertengahan abad 20 kala itu ditandai dengan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia dan Afrika dari penjajahan kulit putih. Belanda menyadari itu dan ingin tampil sebagai “dewa” penolong dengan mulai menyiapkan skenario berdirinya negara Papua Barat di akhir 1950-an. Para pejuangnya yang kini terwakilkan dalam satu tubuh OPM (Organisasi Papua Merdeka) adalah buah dari kebijakan Belanda tersebut, ketika ia menyadaribahwa harapannya untuk tetap bercokol di bumi Nusantara (baca: Hindia Belanda) hampir sirna.

2.Proses itu mirip dengan apa yang dilakukan Jepang sebelumnya yang membentuk sebuah badan untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, yang kita kenal dengan nama PPKI atau dalam bahasa Jepang Dokuritsu Zyunbi Tjosakai. Badan ini dibentuk tanggal 29 April 1945 dan para pengurusnya dilantiksecara resmi oleh pemerintah pendudukan Jepang pada tanggal 28 Mei 1945. Tetapi sejarah akhirnya menentukan lain, kemerdekaan RI diyakini bukan sebagai buah “kebaikan” hati Jepang, tetapi merupakan hasil perjuangan penuh darah dan airmata dari anak-anak negrinya sendiri.

3.Belajar dari apa yang dilakukan Jepang, Belanda-pun ingin jadi “Dewa” bagi Papua, hal yang sama pernah mereka lakukan dengan membawa pulang ribuan warga Maluku ke negaranya dengan iming-iming akan membantu proses kemerdekaan Maluku Selatan(RMS) yang kini baru disadari telah menjadi duri dalam daging bagi Belanda sendiri hingga detik ini.

4.Kongres Rakyat Papua 1961 yang diklaim sebagai dasar yang sah pengakuan kedaulatan rakyat Papua untuk membentuk pemerintahan sendiri belumlah diakui secara international. Justru sebaliknya, negara-negara barat pemenang perang dunia ke-2 seperti Amerika Serikat, Inggris dll, mengakui klaim Pemerintah Indonesia yang menggunakan Peta Hindia Belanda 1931 dimanaPapua ditempatkan dibawah kendali pemerintahan lokal Hindia Belanda dengan Ambon sebagai ibu kota.

5.Dengan demikian, klaim pemerintah RI menjadi lebih legitimate secara hukum international ketimbang upaya Belanda memisahkan Papua dengan mendorong Kongres Rakyat Papua 1961. Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969 hanyalah sebuah upaya “demokratis” dengan melibatkan “unsur-unsur masyarakat Papua” demi me-legal-kan penyatuan wilayah setelah Belanda dengan segala taktik dan strategi berupaya mengakali perjanjian yang telah dibuat dan disetujuinya sendiri.

Dengan demikian saya dapat menyimpulkan bahwa pernyataan Pimpinan Gereja-Gereja Papua itu hanyalah sebuah upaya untuk menarik kembali situasi Papua kepada skenario Belanda 1961. Dengan kata lain, status politik wilayah Papua hendak dikembalikan ke Titik Nol. Akan berhasilkah usaha itu…?Wallahualam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun