Mohon tunggu...
gerry setiawan
gerry setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

aktivis jaringan epistoholik jakarta (JEJAK) Editor Buku "Internasionalisasi Isu Papua, Aktor, Modus, Motiv" Penerbit: Antara Publishing (2014)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Republik BBM

29 Agustus 2014   20:41 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:10 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14092942691418911786

[caption id="attachment_321430" align="aligncenter" width="438" caption="ilustrasi: bawean.net"][/caption]

Ribut-ribut soal “kelangkaan” Bahan Bakar Minyak (BBM) saat ini, menggoda saya untuk ikut nimbrung. Padahal pengetahuan saya tentang permasalahan BBM sangat minim sekali. Saya hanyalah salah satu dari sekian juta konsumen atau pengguna BBM bersubsidi jenis Premium di wilayah DKI Jakarta. Seminggu sekali atau dua kali mampir ke SPBU, membayarnya, lalu melanjutkan aktivitas rutin saya.

Sementara di daerah lain, khususnya di luar Jawa dari pemberitaan di mas media antrean panjang di berbagai SPBU menjadi pemandangan sehari-hari. Banyak pula yang harus pulang dengan kecewa lantaran tidak kebagian BBM bersubsidi alias “Stock Habis” sebagaimana tulisan pada poster-poster yang saat ini marak menghiasi SPBU di hampir seluruh pelosok negeri. Uniknya, berita tentang BBM di wilayah Papua terkesan agak santai, “torang sudah biasa beli satu botol 50 ribu.” Harga setinggi itu mungkin saja bukan harga di SPBU, tapi dari penjual eceran di pinggir jalan karena di SPBU kehabisan stock.

Pemandangan itu sudah terjadi selama satu dua bulan terakhir ini, walupun pengaturan pembatasan BBM bersubsidi baru dikeluarkan Pertamina tanggal 18 Agustus 2014. Menurut penjelasan Menteri SDM, pembatasan quota setiap SPBU ini “terpaksa” dilakukan agar quotanya cukup hingga akhir tahun. Rupanya pada semester pertama pemakaian BBM bersubsidi kita telah melebihi quota, sehingga harus dilakukan pengetatan. Begitulah kondisi BBM kita saat ini, di negeri penghasil minyak ini.

Padahal tanggal 18 Agustus 69 tahun yang lalu, ketika PPKI mengesahkan UUD 1945 menjadi konstitusi resmi negara Republik Indonesia, di dalamnya memuat tujuan nasional. Bahwa Pemerintahan Negara ini dibentuk untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum...dst. (lihat aliena IV Pembukaan UUD 1945). Sementara tanggal 18 Agustus 2014, Pertamina membuat negeri ini bergolak dari Sabang sampai Merauke lantaran BBM langka.

Begitu berpengaruhnya BBM bagi pencapaian kesejahteraan umum, maka setiap kali ‘kesejahteraan umum’ itu terganggu oleh naiknya harga BBM atau langkanya persediaan BBM, negeri ini langsung terguncang. Begitu pula ketika harga minyak di tingkat dunia meningkat, negeri ini ikut makmur. Sebalikhya ketika harga anjlok, terguncanglah keuangan kita. Mungkin agak berlebihan saya menyebut negeri ini dengan “Republik BBM”. Karena siapapun yang memegang tampuk kekuasaan di Republik Indonesia tercinta ini, pengelolaan BBM menjadi tolok ukur keberhasilan pemerintahannya. Karena permasalahan BBM bersubsidi adalah permasalahan mayoritas masyarakat Indonesia, permasalahan rakyt kecil.

Tak terkecuali Jokowi, apalagi sosok Jokowi sudah menjadi 'icon' wing cilik. Pertemuan ‘rahasia’ nya dengan Presiden SBY di Bali bebera hari lalu -yang katanya- juga membicarakan persoalan BBM seakan memperkuat predikat “Rebulik BBM” tadi. Jokowi bahkan rela ‘tidak populer’ jika nanti terpaksa harus menaikan harga BBM untuk menekan subsidi. Ia menyadari betul bahwa menaikan harga BBM adalah sebuah kebijakan yang tidak populer. Tentu saja Jokowi sudah punya sejumlah skenario untuk membenahi persoalan BBM pasca menaikan harganya. Pembenahan mulai dari hulu hingga hilir sehingga rakyat tidak akan kecewa membayar lebih mahal, asalkan ada upaya pembenahan secara sungguh-sungguh soal politik BBM. Ya korupsinya, distribusinya, infrastrukturnya, suprastrukturnya, dan yang tak kalah penting... mafia-nya.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun