Ketika sedang searching di Kompassiana untuk mengisi waktu ngabuburit saya sore kemarin,saya tertegun kala membaca tulisan berjudul : Papua dan Kolonialis Berganti Rupa, yang merupakan artikel pendukung postingan sebelumnya yakni: Sadar atau Tidak: Indonesia menjajah Papua.http://politik.kompasiana.com/2011/08/21/papua-dan-kolonialis-berganti-rupa/
Kalau di-search lebih jauh, dua judul artikel itu ternyata hanya melengkapi postingan lain yang sudah jauh lebih dulu ada di forum ini dengan topik yang kurang-lebih sama.Timbul pertanyaan dalam benak saya, berapa banyak orangkah yang sebetulnya memiliki persepsi yang sama bahwa bangsa kita adalah bangsa penjajah?
Apakah bisa dikatakan bahwa mereka adalah representasi dari sebagian (kecil) anak bangsa ini yang sudah sedemikian dalam tertanam rasa bencinya terhadap bangsanya sendiri? Apakah “hanya” karena persoalan papua (yang memang tidak sederhana) itu, lantas bangsa kita patut mendapat predikat baru sebagai penjajah atau istilah kerennya : Neo Kolonial?
Padahal belum genap sepekan kita melewati peringatan HUT ke-66 Republik Indonesia tercinta. Momentum sejarah yang teramat penting yang mestinya dirayakan secara khikmat oleh seluruh anak bangsa di Negeri yang Gemah Ripah Loh Jinawi ini. Tapi kekhusukan perayaan itu telah “dikotori” sejumlah aksi teror gerombolan pemberontak di Tanah Papua, antara lain dengan cara memberondong peserta upacara yang sedang hening khikmat mengikuti Upacara 17 Agustus di Lapangan Soeharto, Enarotali, Papua. Amat sangat disayangkan memang….tetapi itulah yang telah terjadi.
Saya memang tidak banyak berharap bahwa semua orang Papua harus patuh dan taat-setia sampai mati demi Negerinya, Indonesia. Karena hingga sekarang masih terdapat kelompok-kelompok pemberontak yang cukup eksis memperjuangkan pemisahan Papua dari NKRI.Tapi setidaknya, sebagai orang yang memiliki identitas resmi sebagai Warga Negara Indonesia, yang setiap hari berbicara dengan Bahasa Indonesia, mencari nafkah dan digaji dengan uang Rupiah, bahkan yang ikut menikmatihasil korupsi uang milik rakyat Indonesia, untuk memiliki sedikit saja rasa bangga menjadi Bangsa Indonesia.
Situasi ini mengingatkan saya akan seorang tokoh bernama Carl Schurz. Tokoh dengan segudang predikat sebagaiprajurit, politisi, dan penulis terbaik dari Eropa itu terkenal dengandiktum-Nya : My country, right or wrong. Kita tak harus mengamini semua dictum Carl Schurz. Kita hidup di jaman demokrasi dimana kebebasan berpikir dan berpendapat sangat dihargai.
Sebagai bangsa kita patut prihatin atas memudarnya semangat nasionalisme kita. Banyak persoalan bangsa kita yang timbul akibatterjadi salah atur dan salah urus terhadap Republik ini. Menjadi tugas dan tanggung jawab bersama untuk membenahinya, namun tidak dengan cara terus-menerus mengumpat negeri sendiri. Karena bagaimanapun juga – dengan sedikit menyadur dictum Carl schurz- this is your country, right or wrong. If right, to be kept right; and if wrong, youhave tostraighten it.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H