Dharnawati, Kuasa Direksi PT Alam Jaya Papua (PT AJP) kini harus mendekam di Rutan Khusus Wanita, Pondok Bambu, Jakarta Timur karena terlibat pemberian uang suap sebesar Rp 1,5 miliar kepada dua pejabat di Kementerian Nakertrans.
Petinggi PT AJP yang berkedudukan di Jalan Pahlawan Manokwari, Papua Barat, itu bersama dua pejabat Kemenakertrans, atas nama I Nyoman Suisnaya dan Dadong Irbarelawan telah ditangkap Penyidik KPK akhir pekan lalu.
PT AJP diketahui sebagai perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. Perusahaan ini sudah sering membangun proyek-proyek pemerintah di wilayah Papua. Salah satu proyek yang pernah dikerjakannya adalah pembangunan Jembatan Waren di Manokwari yang selesai pada Februari 2011 yang lalu.
Menurut keterangan Dharnawati, uang sebesar Rp 1,5 itu diberikan kepada I Nyoman dan Dadong (pejabat Kemennakertrans) sebagai “uang pelicin” agar perusahaannya (PT AJP) bisa mendapatkan proyek pembangunan Infrastruktur Kawasan Transmigrasi di Papua Barat pada APBN-P 2011 dengan nilai proyek sebesar Rp 500 miliar.
Namun menurut kuasa hukum Dharnawati, Farhan Abbas, kliennya itu diperas. Pihaknya memiliki bukti kuat berupa pesan singkat dari kedua pejabat Kemenakertrans itu yang mengatasnamakan Muhaimain.
Masih menurut Farhan, ada pejabat dari kementerian lain yang ikut terlibat dalam kasus telah menyeret kliennya itu. Orang itu adalah Sindu Malik, Kepala Seksi Pajak Daerah dan Retribusi IV C Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan yang kini menjadi mekelar di beberapa proyek Kemenakertrans. Sindu adalah orang yang berperan aktif untuk menjembatani antara pihak pengusaha daerah seperti Dharnawati dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI dan pihak Kemenakertrans.
Proyek senilai Rp 500 miliar yang dijanjikan kepada Dharnawati oleh dua pejabat Kemenakertrans itu adalah bagian dari program Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah di 19 kabupaten di berbagai daerah yang dikelola Kemenakertrans termasuk di wilayah Papua dengan total anggaran mencapai Rp 6 triliun. Proyek-proyek itu kini sedang dibahas intensif di Banggar DPR.
Khabarnya, 10 persen dari total nilai proyek Rp 6 triliun itu akan dialirkan melalui jasa makelar kepada pihak-pihak yang dianggap “berjasa” meloloskan proyek-proyek tersebut, mulai dari pejabat daerah, kontraktor (pengusaha) daerah yang akan mengerjakannya, Banggar DPR RI, dan tentu saja para pejabat di lingkungan kementerian terkait.
Jika khabar terkait jasa 10 persen itu benar, maka sebagai bangsa kita masih punya banyak pe-er terkait pemberantasan korupsi yang harus segera diselesaikan. Aparat penegak hukum khususnya KPK harus menjadikan para mekelar di negeri ini sebagai target khusus, jika memang kita benar-benar mau membersihkan budaya korupsi dari republik ini.
Ada banyak makelar di negeri ini. Ada makelar kasus (markus) untuk memuluskan urusan suap-menyuap di lembaga peradilan. Nama “markus” cukup popular dalam kasus Susno Duaji beberapa waktu lalu. Ada makelar proyek (maryo) untuk menjembatani (baca: melakukan deal-deal rahasia) antara pengelola anggaran dan kontraktor (pengusaha). Maryo juga bertugas untuk memungut upeti dan mendistribusikannya secara “aman” kepada pihak-pihak yang berjasa meloloskan proyek-proyek. Sindu Malik adalah salah satu dari sekian banya “maryo” yang ada di negeri ini.
Selain itu, masih ada satu lagi jenis mekelar yang saya beri nama makelar isu (markis) yang kerjanya khusus untuk “menjual” isu miring tentang Papua di pasaran global…!!! Makelar jenis ini banyak terdapat di Papua dan Jakarta. Salah satu tugas mereka adalah memberikan stempel “SALAH” terhadap semua kebijakan pemerintah RI untuk orang dan wilayah Papua. Namanya makelar, tentu motivasinya tidak pernah jauh-jauh dari UANG…!!!
KPK dan PPATK barangkali bisa mengidentifikasi aliran dana pada lembaga-lembaga pemberi “stempel miring” itu. Karena mereka tidak mungkin bekerja secara pro deo…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H