*) Catatan Kritis atas De Volkskrant
[caption id="attachment_157146" align="aligncenter" width="444" caption="gambar : nrw.nl"][/caption]
Membaca tulisan di Kompas.com tanggal 17 Januari 2012 berjudul “Belanda Mengkhianati Orang Papua” yang dirilis dari situs Radio Nederland, saya terinspirasi untuk menelusuri lebih jauh terkait perjuangan bangsa Indonesia mengusir penjajah Belanda dari Tanah Papua.
http://internasional.kompas.com/read/2012/01/17/15172084/Belanda.Khianati.Orang.Papua
Tulisan Kompas.com itu memang mendapatkan tanggapan ‘tidak enak’ dari seorang pembaca yang menuding bahwa Kompas sekarang mulai mendukung disintegrasi. Tetapi hemat saya, Kompas.com justru sengaja merilis artikel tersebut untuk membuka mata kita Orang Indonesia bahwa di luar sana, masih berkembang banyak sekali pandangan miring tentang Negeri ini terkait masalah Papua. Antara lain bahwa Indonesia telah menginvasi Papua, bahwa Papua tidak pernah berintegrasi dengan NKRI, tetapi Indonesialah yang ‘menganeksasi’ Papua, dan bahwa Papua saat ini masih berstatus daerah jajahan Indonesia, dan karenanya harus segera dimerdekakan, dan ... tentu saja masih banyak lagi pandangan-pandangan miring lainnya.
Salah satu pandangan miring dimaksud tampak pada bagian akhir artikel dari situs Radio Nederland yang dirilis Kompas.com tersebut. Saya kutip bunyi paragraf terakhir tersebut : Dari cerita di atas jelas sekali orang Papua saat itu dijanjikan oleh Belanda untuk merdeka. Tapi janji itu tak terpenuhi oleh Belanda. Karena janji Belanda itulah, orang Papua kecewa...
Melihat gencarnya perjuangan para pendukung Papua merdeka, pandangan-pandangan miring tadi, tentu telah diamini sebagai sebuah kebenaran. Namun sebuah pertanyaan kritis patut dilayangkan : benarkah perjuangan Papua merdeka itu lahir semata-mata karena Orang Papua kecewa atas janji merdeka dari Belanda?
Saya justru mendapat sebuah fakta positif dari tulisan yang diangkat koran Belanda De Volkskrant tersebut, yakni bahwa Papua memang belum pernah dimerdekakan oleh Belanda. Itu berarti, salah satu dasar perjuangan Papua merdeka yakni ingin mengembalikan kemerdekaan yang pernah diberikan oleh Belanda tahun 1961 itu, dengan sendirinya GUGUR.
Berikut ini beberapa fakta sejarah yang bisa mendukung argumen tersebut :
1.Perkembangan dunia pada pertengahan abad 20 kala itu ditandai dengan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia dan Afrika dari penjajahan kulit putih. Belanda menyadari itu dan ingin tampil sebagai “dewa” penolong dengan mulai menyiapkan skenario berdirinya negara Papua Barat di akhir 1950-an. Para pejuangnya yang kini terwakilkan dalam satu tubuh OPM (Organisasi Papua Merdeka) adalah buah dari kebijakan Belanda tersebut, ketika ia menyadari bahwa harapannya untuk tetap bercokol di bumi Nusantara (baca: Hindia Belanda) hampir sirna.
2.Proses itu mirip dengan apa yang dilakukan Jepang sebelumnya yang membentuk sebuah badan untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, yang kita kenal dengan nama PPKI atau dalam bahasa Jepang Dokuritsu Zyunbi Tjosakai. Badan ini dibentuk tanggal 29 April 1945 dan para pengurusnya dilantik secara resmi oleh pemerintah pendudukan Jepang pada tanggal 28 Mei 1945. Tetapi sejarah akhirnya menentukan lain, kemerdekaan RI diyakini bukan sebagai buah “kebaikan” hati Jepang, tetapi merupakan hasil perjuangan penuh darah dan airmata dari anak-anak negrinya sendiri.
3.Belajar dari apa yang dilakukan Jepang, Belanda-pun ingin jadi “Dewa” bagi Papua, hal yang sama pernah mereka lakukan dengan membawa pulang ribuan warga Maluku ke negaranya dengan iming-iming akan membantu proses kemerdekaan Maluku Selatan (RMS) yang kini baru disadari telah menjadi duri dalam daging bagi Belanda sendiri hingga detik ini.
4.Kongres Rakyat Papua 1961 yang diklaim sebagai dasar yang sah pengakuan kedaulatan rakyat Papua untuk membentuk pemerintahan sendiri belumlah diakui secara international. Justru sebaliknya, negara-negara barat pemenang perang dunia ke-2 seperti Amerika Serikat, Inggris dll, mengakui klaim Pemerintah Indonesia yang menggunakan Peta Hindia Belanda 1931 dimana Papua ditempatkan dibawah kendali pemerintahan lokal Hindia Belanda dengan Ambon sebagai ibu kota.
5.Itu berarti, klaim pemerintah RI menjadi lebih legitimate secara hukum international ketimbang upaya Belanda memisahkan Papua dengan mendorong Kongres Rakyat Papua 1961. Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera 1969 hanyalah sebuah upaya “demokratis” dengan melibatkan “unsur-unsur masyarakat Papua” demi me-legal-kan penyatuan wilayah setelah Belanda dengan segala taktik dan strategi berupaya mengakali perjanjian yang telah dibuat dan disetujuinya sendiri.
6.Hal ini sejalan dengan penuturan Peneliti Papua asal LIPI, Muridan Wijoyo yang menjelaskan bahwa Pepera itu digelar untuk menjalankan perintah dari perjanjian New York pada 1962, yang menyebutkan bahwa untuk memastikan apakah Papua bagian dari NKRI atau bukan harus dilakukan Pepera. Pepera 1969 dihadiri oleh sekitar 1025 perwakilan rakyat Papua. Pepera digelar di sejumlah kabupaten antara lain di Jayapura, Biak, dan Merauke. Berdasarkan hasil Pepera saat itu, semua perwakilan menyatakan mau bergabung dengan RI.
"Hasil Pepera 1969 ini pun kemudian diakui oleh PBB dan dikeluarkan resolusi yang menyatakan Papua sebagai bagian yang sah dari NKRI. Resolusi ini juga disetujui 80 negara anggota PBB dan hanya 20 negara yang abstain," jelasnya. "Tidak ada negara di dunia yang menolak masuknya Papua ke Indonesia." Tegas Muridan.
Dengan demikian saya dapat menyimpulkan bahwa koran Belanda De Volkskrant yang mengulas tentang hal perjuangan Papua merdeka adalah bagian dari upaya untuk menarik kembali status politik Papua ke Titik Nol. Akan berhasilkah usaha itu…? Wallahualam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H