Mohon tunggu...
gerry setiawan
gerry setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

aktivis jaringan epistoholik jakarta (JEJAK) Editor Buku "Internasionalisasi Isu Papua, Aktor, Modus, Motiv" Penerbit: Antara Publishing (2014)

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Dari Sabang sampai Sentani...

29 April 2011   04:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:16 641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13040615501345625957

[caption id="attachment_105940" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption] *Memperingati 48 Tahun Integrasi Irian Barat

Judul tulisan ini tidak semata-mata disadur dari lagu wajib Nasional "Dari Sabang Sampai Merauke" karangan R. Suharjo. Tapi juga terinspirasi oleh komentar seorang pembaca media online lokal (Lihat) beberapa hari lalu. Dengan gayanya yang khas sebagai orang Papua, pembaca tersebut meminta Dandim di wilayah tempat tinggalnya di Merauke mencontohi kegiatan pemasangan bendera Merah-Putih yang difasilitasi Koramil Sentani dalam rangka menyambut HUT ke-48 Integrasi Irian Barat ke pangkuan NKRI pada 1 Mei 2011. Yang membuat saya terhenyak adalah ketika membaca bagian akhir komentarnya yang bernada mengancam : "...ingaa, lagu DARI SABANG SAMPAI MERAUKE, jangan sampai beta ganti menjadi DARI SABANG SAMPAI SENTANI..." (LIHAT)

Tulisan sederhana ini ingin mengulas secara singkat proses integrasi Papua (dulu Irian Barat) menjadi bagian NKRI, yang belakangan ini masih diperdebatkan keabsahannya oleh sebagian kecil orang Papua, khususnya di kalangan para pejuang Papua merdeka. Sejumlah analisis mengatakan, upaya para perjuangan Papua merdeka itu adalah kelanjutan dari sikap politik Belanda yang selama sekian puluh tahun tampak "tidak rela" membiarkan daerah bekas jajahannya yang kaya sumber daya alam itu bergabung dengan NKRI. Pemerintah Belanda tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Belanda menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949. Sikap Belanda itu berakhir tahun 2005, yang ditandai dengan pengakuan dan kehadiran Menlu Belanda Bernard Rudolf Bot pada upacara Kenegaraan Peringatan HUT ke-60 Kemerdekaan RI di Istana Negara, Jakarta, pada 17 Agustus 2005.

Merasa ditinggalkan oleh "bapak angkat"-nya (Belanda), para pejuang Papua merdeka itu kemudian berkiblat ke negara lain, terutama Inggris. Beberapa politisi dan aktivis HAM dari negara-negara yang secara geografis berdekatan dengan provinsi paling timur Indonesia itu dikhabarkan ikut memberikan dukungan secara sembunyi-sembunyi bagi pejuang Papua merdeka, seperti PNG, Vanuatu, Australia dan AS. Salah satu bentuk dukungannya antara lain pembentukan organisasi IPWP (Internasional Parlementarians for West Papua) yang diprakarsai dua anggota parlemen Inggris pada 15 Oktober 2008 di London, serta IPWP (International Lawyers for West Papua) pada 5 Mei 2009 di Guyana, Amerika Selatan. Kumpulan para pengacara ini, konon tengah berkolaborasi dengan para aktivis pejuang Papua merdeka melalui Komite Nasional Papua Barat (KNPB) pimpinanBuchtar Tabuni untuk menggugat keputusan PEPERA tahun 1969 ke Mahkama Internasional karena dinilai tidak sejalan dengan kaidah hukum internasional one person one vote. Karena PEPERA dituding ilegal, maka integrasi Irian Barat ke NKRI dengan sendirinya menjadi tidak sah. Dengan demikian maka setelah Belanda hengkang dari Irian Barat tahun 1962, Papua kembali "dijajah" oleh Indonesia hingga sekarang. Demikian sikap Buchtar Tabuni cs.

Mereka lupa bahwa PAPUA adalah satu-satunya wilayah yang proses integrasinya ke dalam Indonesia melibatkan dunia internasional melalui PBB dan juga melalui plebisit penduduknya. PEPERA tahun 1969 adalah sebuah proses panjang dari hasil New York Agreement, 15 Agustus 1962 yang difasilitasi PBB. Sesuai persetujuan New York itu, Belanda menyerahkan kekuasaan atas Irian Barat kepada PBB. Untuk maksud itu, dibentuklah Badan Pemerintahan Sementara PBB (United Nasions Tempory Exsekutif Authority /UNTEA). Persetujuan Indonesia-Belanda untuk penyerahan pemerintahan di Irian Barat kepada UNTEA tercatat dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 1752 tanggal 21 September 1962. Maka tanggal 1 Oktober 1962 secara resmi berlangsung penyerahan kekuasaan dari Pemerintahan Belanda kepada UNTEA dibawah pimpinan Administrator Jose Rolz Bennet yang tidak lama kemudian diganti oleh Dr. Djalal Abdoh. Sejak hari itu juga bendera PBB mulai berkibar berdampingan dengan bendera Belanda di Irian Barat. Persiapan pengambil alihan kekuasaan dari tangan Belanda berjalan lancar. Tanggal 31 Desember 1962 bendera Belanda diturunkan dan sebagai gantinya dikibarkanlah bendera Indonesia berdampingan dengan bendera PBB (UNTEA).

Sekretaris Jenderal PBB pada bulan Februari 1963 ke Jakarta dan Jayapura untuk memperjelas bahwa PBB akan menjamin kelancaran proses alih kekuasaan dari UNTEA kepada Pemerintah Indonesia. Sekjen PBB kemudian mengirimkan utusan untuk menerima pemerintahan di Irian Barat. Secara berangsur-angsur pegawai bangsa Belanda meniggalkan Irian Barat, dimana hingga Maret 1963 praktis hampir semua jabatan dalam pemerintahan UNTEA telah berada ditangan bangsa Indonesia, kecuali jabatan-jabatan tertentu dan vital yang terus dipegang oleh petugas PBB bangsa lain hingga pada akhir masa tugas UNTEA di Irian Barat, 1 Mei 1963.

Masih di bawah pengawasan PBB, enam tahun kemudian (1969) digelarlah PEPERA. Menurut persetujuan New York, pelaksanaan kebebasan memilih diserahkan sepenuhnya kepada Indonesia. PBB memberikan wewenang kepada Indonesia untuk mencari cara yang demokratis dengan mengadakan konsultasi atau musyawarah dengan Dewan  Perwakilan Rakyat di Irian Barat. Musyawarah tersebut dimaksudkan untuk menentukan cara terbaik yang disesuaikan dengan kondisi Irian Barat. Hasil akhirnya, sebagaimana kita sudah sama-sama tahu, PEPERA mempertegas sikap PBB 1 Mei 1963, bahwa Irian Barat (sekarang Papua dan Papua Barat) secara formil maupun materiil adalah bagian tak terpisahkan dari NKRI.

Menyimak perjuangan bangsa Indonesia untuk menyatukan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, maka dapat dipahami mengapa pemerintah Indonesia begitu gigih mempertahankan wilayah ini dari upaya-upaya separatisme. Dengan demikian maka kebijakan-kebijakan yang diterapkan di wilayah Papua dan Aceh (misalnya dulu ada DOM, sekarang ada UUPA dan Otsus), pertama-tama harus dipahami sebagai upaya MEMPERTAHANKAN KEDAULATAN BANGSA DAN NEGARA INDONESIA. Tidak ada satupun negara di dunia ini yang mentolerir adanya gerakan separatisme di negaranya. Gerakan separatis dalam suatu Negara, apapun alasannya pasti akan dikatakan SALAH oleh pemerintah yang sah.

Kalau saat ini para pejuang Papua Merdeka terus-menerus mempersoalkan keabsahan sejarah integrasi Papua ke dalam NKRI, lagi-lagi menurut sejumlah analisis, itu hanyalah upaya UNTUK MENJAGA AGAR PERJUANGAN PAPUA MERDEKA TETAP AKTUAL, lantaran isu-isu global seperti pelanggaran HAM, demokratisasi dan isu lingkungan sudah kurang laku lagi "dijual" di pasaran dunia internasional.Maka para pejuang Papua merdeka kembali membuka "lapak" baru untuk menjajakan "dagangan" baruyaitu delegitimasi sejarah.

Maka sudah amat tepat sikap masyarakat Papua yang ingin merayakan hari Integrasi Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi pada 1 Mei mendatang dengan cara mengibarkan bendera Merah-Putih. Sayangnya, semangat itu baru ditunjukkan oleh warga Sentani. Warga Papua yang lainnya dari kepala burung Sorong hingga Merauke, diharapkan juga mempersiapkan diri untuk memeriahkan hari Integrasi dimaksud dengan kegiatan-kegiatan sebagaimana layaknya menyambut 17 Agustus.

-------------------------------------------------------------------

*) Penulis : aktivis Jaringan Epistoholik Jakarta (JEJAK)

Tinggal di Jakarta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun