[caption id="attachment_240946" align="aligncenter" width="465" caption="sumber : republikaonline"][/caption]
Gelombang aksi unjuk rasa yang menolak praktik outsourcing dalam dunia usaha di Indonesia sudah sering dilakukan oleh kaum buruh. Bahkan penolakan ini juga datang dari para karyawan BUMN. Dalam aksi buruh hari ini (1 Mei 2013) tuntutan ini dipastikan akan kembali disuarakan.
Sekuat apapun penolakan kaum buruh, sistem outsourcing dipastikan tidak akan dihapus dari negeri ini. Mengapa? Karena globalisasi bisnis alih daya atau outsourcing ini telah melanda dunia. Tidak ada satu negara pun yang dapat membebaskan diri dari praktik bisnis ini. Yang membedakan hanya pada sistem dan mekanisme perlindungannya.
Ada banyak alasan mengapa banyak perusahaan yang memutuskan untuk mengalihkan setidaknya satu-dua item pekerjaan mereka dengan sistem outsourcing. Mereka umumnya menyadari bahwa merekrut dan mengkontrak karyawan, menghitung dan membayar gaji, lembur dan tunjangan-tunjangan, memberikan pelatihan, administrasi umum serta memastikan semua proses berjalan sesuai dengan peraturan perundangan adalah pekerjaan yang rumit, banyak membuang waktu, pikiran dan dana yang cukup besar serta dapat menghambat konsentrasi mereka untuk mengembangkan bisnis utama (core bussines) perusahaannya.
Indonesia telah mengadopsi sistem ini dengan dengan beberapa pengecualian yang disesuaikan dengan kondisi obyektif di Tanah Air. Kondisi obyektif dimaksud antara lain tingginya angka pengangguran, terbatasnya lapangan kerja, melimpahnya tenaga kerja berpendidikan rendah dan skill kurang memadai.
Itulah sebabnya, ketentuan tentangOutsourcing yang diatur dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain secara tegas mengatur sejumlah pembatasan.
Di antaranya, tenaga outsourcing hanya diperuntukkan bagi pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi (outsourcing tenaga kerja) dan bagian pekerjaan perusahaan yang boleh diborongkan kepada perusahaan outsourcing tidak berhubungan dengan cour business atau bisnis inti (oursourcing pekerjaan). Dengan demikian, maka perusahaan penyedia jasa tenaga kerja outsourcing pun hanya dibatasi pada lima bidang usaha saja, yaitu: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service); usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering); usaha tenaga pengaman (security/ satuan pengamanan); usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/ buruh. (vide Pasal 64, 65 dan 66 UU No. 13 Tahun 2003 dan Pasal 17 ayat (3) Permenakertrans No. 19 Tahun 2012).
Praktik Outsourcing di mancanegara
Di Jepang, pesatnya pertumbuhan organisasi bisnis karena disupport oleh adanya jasa outsourcing tenaga kerja. Tidak ada pembatasan apakah praktek outsourcing dilakukan pada core atau non-core business. Prinsip “no work no pay” benar-benar diterapkan, bahkan gaji pekerja outsourcing tidak didasarkan pada jumlah kehadiran, tetapi pada aktual jam dalam sehari.
Perusahaan penyedia jasa tenaga kerja outsourcing menggaransi skill, ability dan aptitude para karyawannya. Jika ada karyawan oustourcing yang dinilai tidak kualified, perusahaan pengguna jasa tenaga kerja outsourcing dapat langsung menggunakan hak garansi dengan mengajukan penggantian karyawan tersebut.
Di India, penerapan sistem tenaga kerja outsourcing terbukti telah menjadi solusi terhadap masalah pengangguran di negara itu. Perusahaan penyedia jasa tenaga kerja outsourcing benar-benar mendidik dan melatih para karyawannya sedemikian rupa agar memiliki skill yang mumpuni di berbagai bidang. Sektor teknologi informasi (IT) menjadi idola para pekerja outsourcing di India. Hal ini sangat berdampaknya terhadap perluasan kesempatan kerja di negara itu. (The Wall Street Daily Journal; 2008)
Di Australia, upah buruh outsourcing lebih tinggi 8,3% per bulan dibanding dengan karyawan tetap.Angka ini lahir dari asumsi, bila buruh menerima tambahan sebesar 8,3 persen di atas upah buruh tetap per bulan, dalam 12 bulan mereka akan mendapat upah 100 persen, atau sama dengan satu bulan gaji.
Amerika bahkan telah mengalihakan bisnis-bisnis manufakturnya ke kawasan Asia mengingat mahalnya tenaga kerja di negeri itu. Sebagai contoh, hampir seluruh proses produksi sepatu Nike di-outsorcing ke berbagai negara. Sebagian besarnya ada di Tangerang dan Serang. Pasokan bahan baku, tenaga kerja, bahkan proses pembuatan sepatu itu sendiri semuanya dari negara yang bersangkutan.Yang tidak di-outsourcing hanya proses pembuatan desain. Desain ini merupakan distinctive core competency dari Nike. Desainer Nike bukan hanya terdiri dari orang-orang seni, namun juga para psikolog, olah ragawan, dokter orthopedic, konsultan motivasi, di samping masukan dari para eksekutif hebat dalam bidang pemasaran dan penjualan.
Peluang dan Tantangan
Pada dasarnya, sistem Outsourcing dibuat dengan tujuan yang baik. Yakni agar perusahaan dapat melakukan efisiensi dan meningkatkan keuntungan. Untuk kepentingan jangka panjang, penggunaan sistem outsourcing dapat memacu perusahaan-perusahaan melakukan pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang dimilikinya, lebih profesional mengatur karir karyawannya, dan lebih efisien menggunakan tenaga kerja. Sehingga perusahaan dapat lebih fokus mengurusi kompetensi bisnis utamanya agar dapat berkompetisi di pasar, karena hal-hal internal perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) telah dialihkan kepada pihak lain yang lebih profesional.
Polemik yang berkembang di kalangan buruh bahwapenggunaan sistem outsourcing hanya mau membentengi pengusaha untuk menghindar dari kewajiban-kewajibannya terhadap buruh/pekerja serta melegitimasi bentuk eksploitasi terhadap tenaga kerja manusia, tidak seluruhnya benar.