Mohon tunggu...
gerry setiawan
gerry setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

aktivis jaringan epistoholik jakarta (JEJAK) Editor Buku "Internasionalisasi Isu Papua, Aktor, Modus, Motiv" Penerbit: Antara Publishing (2014)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Buruk Muka, PBB Ditampar

18 Mei 2012   00:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:10 1400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_177724" align="aligncenter" width="405" caption="Markas PBB di Genewa,Swiss. Gambar : www.un.org"][/caption]

Jumat akhir pekan lalu (11/5/2012) Tokoh Papua merdeka Lambert Pekikir, yang mengklaim diri sebagai Koordinator Umum Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM), di markasnya di wilayah perbatasan RI-PNG, melontarkan tudingan ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai biang kerok terjadinya konflik di Tanah Papua.

http://bintangpapua.com/headline/22740-opm-salahkan-pbb

Sebelumnya, tanggal 10 Januari 2012, Pekikir di hadapan pasukannya pernah sesumbar bahwa bahwa PBB akan mengagendakan pembahasan kemerdekaan Papua dalam Sidang Umum badan dunia itu tahun ini.

...pejuang-pejuang Papua Merdeka di luar negeri sedang mendorong agar pertikaian Papua bisa menjadi salah satu agenda pembahasan di PBB, ini membuktikan bahwa, perjuangan kami terus berjalan, apapun halangan dan rintangannya, perjuangan tetap dijalankan demi Papua merdeka,” ujar Lambert sebagaimana dikutip sebuah media lokal.

http://politik.kompasiana.com/2012/01/12/tokoh-pejuang-papua-merdeka-menuntut-tanggung-jawab-pbb/

Tapi faktanya? Jangankan soal pemisahan diri dari NKRI, soal isu pelanggaran HAM saja PBB sama sekali tak melirik Papua. Itu terungkap oleh Koordinator Faith-based Network on West Papua, Kristina Neubauerdalam dialog dengan tokoh-tokoh Papua dan perwakilan sejumlah elemen Papua di Padang Bulan, Abepura hari Sabtu, 21/4/2012 lalu. Pada kesempatan itu Kristina membeberkan bahwadirinya ikut menghadiri Sidang Umum PBB di markas PBB Genewa selama tiga minggu di bulan Maret 2012 yang secara khusus membahas isu pelanggaran HAM di berbagai belahan dunia. Dan isu pelanggaran HAM di Papua yang banyak digembar-gemborkan oleh para aktivis HAM di Indonesia, sama sekalitidak dibahas.

Menurut Kristina, kendala utama mengapa di luar negeri kurang ada respon terkait masalah Papua, adalah kurangnya data.

http://bintangpapua.com/headline/22037-kasus-ham-papua-tidak-dibahas-pbb

Dokumen PBB versi Pekikir

Kini Lambert Pekikir mencari dalih lain. Ia merujuk pada terbentuknya lembaga legislatif Dewan Nasional Papua (Nieuw Guinea Raad) pada jaman Belanda. Menurutnya, saat itu ada dokomen yang disampaikan oleh PBB kepada OPM melalui Lembaga Legislatif Papua Barat saat itu. Dalam dokumen tersebut PBB menjelaskan 3 (tiga) hal penting, yaitu, PBB hanya ambil catatan tentang situasi kemenangan atas Pepera 1969 di Papua Barat. Poin kedua, menurut Pekikir, PBB percayakan Indonesia untuk tolong atau membantu membangun Papua Barat. Dan poin terakhirnya adalah, Pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk membina rakyat Papua Barat sampai rakyat Papua mampu mandiri, maka, hak-hak mereka akan diatur kemudian.

“itu permasalahannya, dengan kami (OPM) PBB sampaikan lain, kepada Indonesia PBB sampaikan lain, jadi PBB harus bertanggung jawab untuk ini semua, mereka harus jelas dan terbuka di hadapan kedua belah pihak, apa sebenarnya keputusan PBB,” tegas Pekikir sebagaimana dikutip media lokal Bintang Papua (Minggu, 12/5/2012).

Dokumen PBB yang Sebenarnya

Kita tidak pernah tahu dokumen PBB yang mana yang dipegang oleh Lambert Pekikir itu. Jika benar dokumen itu resmi produk PBB, tentu hingga kini masih tersimpan rapi dalam dokumentasi markas PBB di Genewa, Swiss.

Yang pasti bahwa sebagai generasi muda bangsa, berdasarkan pernyataan-pernyataan para petinggi PBB selama ini sudah jelas bahwa masalah status politik wilayah PBB sudah final, yaitu bahwa Papua adalah bagian dari NKRI.

Untuk mencapai tingkat itu, perjalanannya juga tidak sesederhana apa yang dipikirkan Pekikir dan pengikut-pengukutnya. Melalui upaya diplomasi yang alot yang difasilitasiPBB, Belanda akhirnya mau menandatangani New York Agreement (NYA) bersama Indonesia pada tanggal 15 Agustus 1962 yang memuat road map penyelesaian sengketa atas wilayah Papua/Irian Barat. Lima hari kemudian ( 20 September 1962) dilakukan pertukaran instrumen ratifikasi NYA antara Indonesia dengan Belanda tetapi pertukaran tersebut tidak menjadikannya otomatis berlaku karena PBB terlibat. Maka PBB pun membawa Persetujuan bilateral (NYA) ini ke dalam forum PBB, yang kemudian diterima dan dikukuhkan dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1752 yang mulai berlaku 21 September 1962.

Pada momentum penyerahan kekuasaan Belanda atas wilayah Irian Barat kepada UNTEA (sebagai mana isi NYA) Wakil Gubernur H. Veldkamp mengatakan :

Mulai saat ini, akibat persetujuan internasional yang berhubungan dengan itu, maka tanah dan bangsa Nieuw Guenea Barat telah ditempatkan di bawah kepemerintahan yang baru : penguasa sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kedaulatan Netherlands atas tanah ini telah berakhir. Tibalah suatu jangka waktu yang baru, jangka mana berlangsung sampai pada saat pertanggungjawaban atas pemerintahan diserahkan kepada Indonesia sepenuhnya”.

Maka sejak itu, sesuai azas uti possidetis juris kedaulatan Negeri Belanda atas wilayah jajahannya di Papua (Irian Barat) yang dikuasainya sejak tahun 1828 di bawah administrasi Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, berakhir sudah, dan diserahkan kepada pemerintahan baru : UNTEA.

Dan ini berarti pula bahwa jika benar Belanda telah terlebih dahulu memerdekaan West New Guinea (Irian Barat) pada tahun 1961 atau tahun berapapun itu, dengan sendirinya TERBANTAHKAN oleh perjanjian New York dan Resolusi PBB No. 1752 tersebut.

Ini semakin kuat, ketika road map penyelesaian konflik atas wilayah Irian Barat kemudian ditentukan melalui plebisit penduduknya, yaitu melalui PEPERA tahun 1969, yang dikukuhkan dengan Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504 tanggal 19 November 1969. ***

Gerry Setiawan

--------------------------------------------

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun