Mohon tunggu...
gerry setiawan
gerry setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

aktivis jaringan epistoholik jakarta (JEJAK) Editor Buku "Internasionalisasi Isu Papua, Aktor, Modus, Motiv" Penerbit: Antara Publishing (2014)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Papua Butuh Kerja Nyata, bukan hanya Politik

9 Mei 2012   03:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:31 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_176220" align="aligncenter" width="510" caption="Foto : YanPiet (Kompasiana : http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2012/03/28/menyingkap-sumber-energi-terbarukan-papua/)"][/caption]

Sudah bukan rahasia lagi, isu Papua telah menjadi komoditas politik dunia. Dibahas mulai dari warung kopi di pinggir jalan hingga fora-fora internasional di hotel berbintang. Bergelinding dari satu negara, ke benua lainnya dengan bobot kepentingan yang berbeda-beda. Diisukan tiap hari di jejaring sosial dan media online bahwa sebentar lagiakan masukagenda PBB, tak lama lagi akan digugat di Mahkamah Internasional, akan ada referendum ulang, dan seterusnya...... itu sudah berlangsung bertahun-tahun.

Apakah dinamika itu telah mengubah Papua? Tidak!!! Mama-mama Papua masih tetap berjualan sirih-pinang, ubi, sayur di pasar tradisional. Anak-anak desa yang tinggal di pegunungan masih berangkat dan pulang sekolah dengan berjalan kaki. Para nelayan masih melaut dengan perahu tradisional dan motor tempel.

Singkat kata, internasionalisasi isu Papua bukan untuk kepentingan Papua. Tetapi untuk kepentingan mereka yang menciptakan dan mengelola isu itu.

Buktinya, Pemerintah dan negara Indonesia yang menjadi target isu itu sampai sekarang tetap eksis membangun Papua, memajukan Papua dari kemiskinan dan ketertinggalannya. Sudah banyak kemajuan yang dicapai. Banyak pemuda Papua yang menyandang predikat sarjana dengan dana dari Pemda, banyak gedung gereja yang dibangun bersama Pemerintah, banyak tokoh Papua yang menjadi kepala daerah berkat reformasi aturan yang digulirkan oleh wakil rakyat bersama Pemerintah, banyak kampung yang tadinya terisolir bisa dimasuki kendaraan roda empat dan pesawat perintis, dan pertumbuhan ekonominya terus menanjak naik.

Sementara mereka yang katanya peduli pada harkat dan martabat orang Papua, setiap hari duduk rapat di sekretariat, jumpa pers di kafe, turun demo di jalanan, keliling dari satu kota ke kota lainnya mencari dana. Begitupun mereka yang memilih “berjuang” di luar negeri, berkeliling dari satu negara ke negara lainnya untuk berkampanye (baca : jualan isu papua) demi mengumpulkan dana agar kehidupan mereka di negeri orang tak sampai terlantar.

Saya yakin, masyarakat Papua semakin hari akan semakin sadar dan terbuka matanya untuk melihat dan mempercayai kerja-kerja nyata Pemerintah dan tokoh masyarakat daripada terbuai pada kampanye-kampanye bohong dari sekelompok orang yang mengaku berjuang untuk harkat dan martabat orang Papua, padahal mereka belum pernah menyumbangkan satu potong balokpun untuk membangun gedung sekolah agar anak-anak Papua bisa belajar dan bertumbuh menjadi generasi cerdas.

Sudah saatnya Papua butuh kerja-kerja nyata. Cukup sudah memperdebatkan status politiknya. Itu semua sudah berakhir pada 19 November 1969 semenjak Sidang Majelis Umum PBB melalui Resolusi No. 2504 menetapkan bahwa PEPERA adalah plebisit yang sah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun