Menilik Konflik Antara Tigray dan Pemerintah Ethiopia Tahun 2020 dalam Sudut Pandang Violence Against Women
Konflik Tigray merupakan konflik yang melibatkan pemerintah Ethiopia dan Front Pembebasan Rakyat Tigray atau yang biasa disebut dengan TPLF, dimana konflik ini terjadi dalam kurun waktu dua tahun 2020-2022 di Tigray, wilayah utara Ethiopia. Konflik ini termasuk dalam konflik bersenjata non-internasional, karena terjadi di suatu negara dan tidak melibatkan negara lain. Pada dasarnya konflik Tigray ini terjadi karena munculnya rasa kecemburuan sosial, politik, dan ekonomi dari etnis Tigray yang merasa bahwa mereka tidak diuntungkan dari kepemimpinan rezim saat itu, serta berbagai pemicu lainnya yang menyebabkan konflik ini pecah. Adanya konflik ini juga berdampak pada stabilitas politik Ethiopia dan kawasan regional.Â
Dampak lain dari adanya peristiwa naas ini yakni ribuan orang tewas, jutaan orang mengungsi, dan menimbulkan krisis kemanusiaan yang merugikan masyarakatnya tanpa terkecuali, terutamanya kelompok rentan seperti perempuan. Perempuan menjadi kelompok yang paling terdampak dan dirugikan adanya permasalahan ini. Dampak paling mengerikan dari konflik Tigray ini adalah kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan fisik, seksual, psikologis, ekonomi, dan perampasan menjadi marak di Ethiopia kala itu, terutamanya kekerasan seksual. Kekerasan seksual terhadap perempuan telah menimbulkan dampak yang sangat luar biasa bagi korban yang menyebabkan trauma fisik dan psikologis yang mendalam.Â
Kata kunci: Konflik Tigray, Pemerintah, TPLF, Perempuan, Kekerasan
Ethiopia merupakan salah satu negara yang terletak di kawasan Afrika bagian timur dan berbentuk federasi, dimana negara-negara bagiannya Ethiopia didasarkan pada etnis, bahkan regional state (disebut sebagai kililoch/kilil) Ethiopia tidak dinamakan berdasarkan geografi, melainkan berdasarkan nama kelompok etnis (Pellet, 2021). Sejak tahun 1991, di mana terjadi peralihan kekuasaan dari diktator sosialis, etnis Tigray memainkan peran yang cukup signifikan di ranah perpolitikan, sebab dianggap 'berjasa' menumbangkan sosialisme di Ethiopia. Selanjutnya, di pemerintahan dibentuk koalisi partai EPRDF (Ethiopian People's Revolutionary Democratic Front) yang terdiri atas partai etnis Amhara, Oromo, Southern Ethiopian People's Democratic Movement, dan etnis Tigray (Tigray People Liberation Front), yang mana TPLF mendominasi pemerintahan Ethiopia. Hal ini menimbulkan perdebatan di beberapa kalangan, sebab nyatanya persentase etnis Tigray di Ethiopia cukup kecil dan tidak dapat merepresentasikan populasi.Â
Koalisi EPRDF dengan dominasi TPLF ini memimpin pemerintahan Ethiopia selama kurang lebih 20 tahun hingga pergolakan pada tahun 2018 yang mengecam pemerintahan akibat otoritarianisme dan pengabaian hak sipil politik yang diterapkan oleh pemerintah demi menjaga stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Abiy Ahmed, politisi yang berasal dari Oromo, diangkat menjadi perdana menteri setelahnya. Satu tahun setelah pemerintahan Abiy Ahmed, dilakukan reorganisasi partai, yang mana EPRDF diubah menjadi Prosperity Party dengan tujuan menyatukan seluruh Ethiopia dan merevisi kebijakan ekonomi agar lebih bercorak liberal. Terjadi perbedaan pendapat terkait tujuan pemerintahan yang dirancang Abiy dengan TPLF. Perbedaan ini berlanjut menjadi ketegangan dan akhirnya TPLF memutuskan untuk keluar dari koalisi partai dan kembali ke wilayahnya.Â
Hal ini juga diperkuat dengan "dendam" TPLF kepada awal pemerintahan Abiy pada tahun 2018, yang mana kala itu dilakukan pengecekan korupsi besar-besaran yang dianggap "menargetkan" para pemimpin TPLF. Ketegangan pemerintahan Abiy Ahmed dengan TPLF yang mewakili etnis Tigray ini mengalami eskalasi menjadi konflik bersenjata setelah dipicu oleh beberapa fenomena dan menimbulkan dampak yang signifikan di kawasan Ethiopia pada tahun 2020, terutamanya dampak terhadap kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak yang paling dirasa dirugikan. Dalam suatu konflik akan selalu ada dampak yang ditimbulkan setelahnya, baik fisik maupun psikis yang berimplikasi pada kehidupan korban.
Bagaimana jalannya konflik bersenjata antara pemerintah Ethiopia dengan Tigray pada tahun 2020 yang berimplikasi adanya kekerasan pada perempuan?
Tentu konflik ini memakan banyak korban, termasuk masyarakat sipil terutama kelompok rentan seperti perempuan, Â mengingat konflik ini terjadi tidak sebentar. Semenjak konflik ini terjadi, pemerintah Ethiopia mengumumkan keadaan darurat nasional selama enam bulan di Tigray (BBC, 2020). Dewan Keamanan PBB turut serta menyerukan penghentian konflik ini dikarenakan dampak parah yang diakibatkan terhadap penduduk sipil. Terdapat setidaknya beberapa dampak yang dapat diidentifikasi, yakni meningkatnya arus pengungsi dan pencari suaka penduduk sipil Tigray dan sekitarnya yang terkena dampak dari konflik ini.Â
Dimana para masyarakat sipil banyak melarikan diri ke negara tetangga, seperti Sudan dan Sudan Selatan. Pada minggu ketiga bulan november 2020 tercatat sebanyak 31.000 warga Tigray melarikan diri ke Sudan dan bertambah setiap harinya (Wijaya, 2020). Bahkan, lebih dari 2,5 juta warga sudah mengungsi keluar dari daerah konflik. Selain itu PBB menyatakan bahwa lebih dari 6 juta warga di daerah konflik mengalami krisis dan butuh bantuan (Patrio, 2021).
Dampak lainnya yaitu, bencana kelaparan dan kematian. Dimana banyak warga sipil yang menetap karena tidak mampu melarikan diri pun mengalami krisis serius, terutama dalam hal pangan. Tidak hanya dampak fisik, melainkan dampak psikologis pun menyerang bagi para korban. Tidak hanya persoalan baku hantam antar pihak yang bertikai, namun terjadi pula tindakan pemerkosaan, kekerasan, pelecehan seksual, penyiksaan, dan eksekusi yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh pasukan militer Ethiopia kepada warga perempuan di Ethiopia (Ariyanti, 2021). Selain itu pula terdapat kamp-kamp militer yang digunakan untuk menyiksa pihak lawan atau yang dianggap berpihak pada lawan. Berbagai bentuk kekerasan ini jelas akan memberikan dampak traumatis kepada para korban maupun keluarga korban.