Dita, gadis manis tamatan SMA di sebuah kota. Dengan segudang impian akan masa depan yang cerah ia datang ke kota karang, diajak Sepupunya yang bekerja sebagai guru SMP karena tergerak hati untuk membiayai studi lanjut, mengingat orangtua Dita yang cuma petani kurang mampu. Tendi, saudaranya itu memintanya datang lebih awal, biar sambil menunggu tahun akademik baru tiba, ia bisa belajar beradaptasi dengan lingkungan dan situasi kota. Benar, pada saat-saat awal kedatangannya, hingar bingar kota menjadi interestnya, dan, dalam beberapa bulan saja Dita sudah mengetahui banyak hal tentang kota barunya itu, ia sudah memiliki banyak teman, dan tidak ketinggalan dalam informasi-informasi baru dan gaul.
Bermodalkan sikapnya yang luwes dengan sedikit cerewet, cekat dan cepat mengerjakan pekerjaan-pekerjaan harian, dalam waktu singkat pula Dita mampu menarik hati Tendi dan istrinya. Di mata kedua orang ini, kejujuran dan kepolosan Dita tidak perlu disangsikan. Sebagai apresiasi atas sikap dan kecekatannya, Dita diberi hadiah sebuah telepon genggam, dengan maksud biar Dita merasa makin enjoy dengan keseharian di rumah.
Betapa gembiranya Dita memperoleh hadiah itu. Sejak itu ia tidak lagi harus meminjam telepon genggam teman-teman maupun tetangganya seperti sebelumnya. Ia pun makin gesit dan semangat melakukan pekerjaan-pekerjaan di rumah. Berikut, tips-tips berupa uang saku yang sesekali Sepupunya berikan, lebih banyak ia gunakan untuk membeli pulsa ketimbang untuk kebutuhan-kebutuhan anak gadis pada umumnya. Sampai-sampai, untuk membeli pembalut ia harus meminta lagi dari sepupunya yang lain.
Sekarang Dita punya banyak nomor teman-teman, lama dan baru. Ia bisa mengirim SMS kapan saja ia mau. Meskipun Tendi dan istrinya tahu bahwa komunikasi-komunikasi Dita melalui HPnya entah dengan dengan siapapun itu pastilah tidak produktif, namun demi menghormati privasinya mereka tidak menanyakan dengan siapa atau apa isi komunikasi-komunikasinya. Sebenarnya, hubungan yang dibangun keluarga ini dengan Dita sangatlah komunikatif. Mereka bisa bercerita dengan nada canda, jenaka, bisa berbasa-basi tentang teman-teman yang disukai, bahkan tentang pacar-pacar si Dita. Tetapi, untuk yang terakir ini, Dita tidak berterus terang. Keduanya pun tidak mencampuri lebih jauh, karena sangat percaya akan sosok Dita sebagai gadis yang sangat polos dan jujur. Lagi pula, menanyakan pacar saudara atau saudari merupakan hal yang masih dianggap tabu, dalam masyarakat Tendi dan Dita.
Lima bulan berlalu ketika di suatu sore Tendi duduk-duduk di beranda sambil menghirup aroma kopi arabica. “Ada perubahan di matanya,” cetus Tendi kepada istrinya sambil mengalihkan ekor matanya ke arah Dita yang sedang menyapu. Dita mengalami perubahan secara fisik, ia terlihat kurang bergairah, kulitnya kusam dan agak kurusan. Istri Tendi hanya berkilah,”barangkali ia sedang haid, saya pikir sebentar lagi ia akan sehat-sehat lagi”, meskipun sebenarnya ia mengiakan pendapat suaminya. Ternyata, di luar pengetahuan kedua orang ini, para tetangga mempergunjingkan lika-liku si Dita, terutama soal relasi khususnya dengan seorang lelaki yang tinggal seperlempar batu dari rumah mereka.
Tendi dan istrinya baru terhenyak ketika suatu malam lelaki itu datang menyerang rumah mereka dengan dua bilah parang di tangan. Lelaki itu mengamuk, memasuki kamar Dita, memporak-porandakan isinya lalu menghilang. Untung, Tendi dan istrinya sedang keluar, sementara Dita sendiri sudah mencium gelagat lebih dahulu sehingga ia sudah bersembunyi di rumah tetangganya satu jam sebelumnya.
Di hadapan Polisi, lelaki itu mengaku kalau penyerangannya merupakan pelampiasan kemarahannya atas SMS-SMS si Dita terhadapnya dalam satu minggu terakhir. Dalam salah satu dari SMS-SMS itu, Dita mengatakan bahwa ia akan menggugurkan janin yang ia kandung. Ternyata lelaki itu adalah pacarnya, pacar yang relasi antara mereka dibangun sejak Dita memperopeh HP hadiah itu.
Karena lelaki itu hanya berselang beberapa rumah, ia tidak pernah berterus terang menceritakan tentang lelaki itu kepada Tendi maupun istrinya. Tetangga-tetangga pun tidak menceritakannya karena tidak ingin terlibat dalam masalah di kemudian hari, sebab lelaki itu sesungguhnya telah memiliki istri dengan dua orang anak.
Dari balik jeruji tahanan polisi, lelaki itu mengakui kalau ia memang mencintai Dita dan berniat bertanggung jawab atas perbuatannya. Akhirnya, demi cinta pada Dita dan demi janin yang dikandung Dita, Tendi dan istrinya menarik tuntutan.
Sekarang Dita hidup bersama lelaki itu dengan anak mereka. Mereka ditolak dari segala arah. Mereka terus berada di persimpangan, entah mau ke mana. Sementara Tendi dan istrinya, masih terus didera oleh rasa bersalah, bersalah karena telah memberi hadiah yang mencelakakan itu.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H