Selat Sunda masih gelap ketika Kapal Feri yang membawa kawanan tim survei melaju membelah lautan. Sekeliling hanyalah kolam air asin raksasa beserta kerlip titik lampu di kejauhan. Pelabuhan Bakauheni tampak menyambut nun di seberang. Untuk generasi sebelum dan sesudahnya, melalui serangkaian proses yang mendewasakan, perjalanan Gerakan UI Mengajar (GUIM) tahun ini menyentuh Kabupaten Pesisir Barat, Lampung.
Malam itu, Pasukan GUIMO secara resmi telah memijak tanah Sumatra. Bus yang turun melalui pintu keluar kapal melanjutkan perjalanan, membawa Pasukan GUIMO menyentuh wilayah paling barat dari Provinsi Lampung.Perjalanan Pasukan GUIMO dari Terminal Kampung Rambutan menuju Kabupaten Pesisir Barat menghabiskan 17 jam perjalanan. Angka ini dapat saja berkurang atau bertambah.
Namun, tak elok rasanya mengeluh terhadap lamanya durasi duduk di dalam bus karena ini adalah Kabupaten Pesisir Barat, pelosok paling barat dari Provinsi Lampung dengan wilayah yang luas tak terkira--dan bahkan belum semuanya terjamah.
Begini, kawanku yang budiman, sebagai perbandingan saja bahwa DKI Jakarta memiliki luas 661,5 km sementara Kabupaten Pesisir Barat memanjang melintasi pesisir pantai dengan luas 2.907 km. Kabupaten ini bahkan lebih luas dibanding sebuah negara bernama Singapura!
Mengetahui betapa luasnya daerah titik aksi, begitulah seharusnya Pasukan GUIMO meminta bantuan kepada pemerintah daerah setempat untuk mengetahui sekolah-sekolah mana saja yang sekiranya tepat dijadikan titik aksi. Namun, mohon maafkanlah karena titik aksi GUIM yang terbatas pada enam lokasi. Tentu terdapat banyak sekali sekolah yang sekiranya perlu untuk dibantu, tetapi semoga dapat dimaksimalkan ketika aksi nanti.
Satu minggu adalah durasi waktu yang digunakan Pasukan GUIMO untuk melakukan pencarian terhadap sekolah-sekolah, tentu durasi waktu itu termasuk 17 jam perjalanan. Bersentuhan langsung dengan keadaan Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kabupaten Pesisir Barat, menyadarkan Pasukan GUIMO bahwa kualitas pendidikan yang belum merata dalam narasi, berubah menjadi realitas di pelupuk mata. Realitas itu terlihat nyata, serupa nila setitik pada susu sebelanga.
Survei pertama mendapat temuan-temuan menarik perihal dunia pendidikan dasar di pelosok negeri. Perihal anak-anak yang mungkin tak pernah paham dengan tiap-tiap bahaya yang muncul, ketika langkah demi langkahnya tercipta selagi mereka berjalan melewati jembatan gantung untuk bersekolah. Mungkin memang hanya dengan bersekolah dan berilmu, sehingga manusia-manusia mungil itu mampu menambal garis nasib yang akan membawa mereka menjadi manusia dengan intelektualitas mulia.
Hempasan ombak merangkak naik akibat tabrakan tak terhindarkan dengan karang yang kokoh, begitulah pemandaingan sepanjang perjalanan meuju utara kabupaten. Di poros berbeda, tim survey menembus jalan-jalan berupa kerikil melewati sawit-sawit kokoh di selatan kabupaten. Parit-parti kecil nan bening kadang menjadi tempat untuk beristirahat.
Ada asa yang perlu diwujudkan, serta inspirasi yang berusaha ditanam. Demikianlah survey pertama ini dijalankan sebagai persingunggan pertama GUIM 9 dengan titik aksi. Di perjalanan pulang kembali, diam-diam tepuk salut dipersembahkan untuk anak-anak itu.
12 Agustus 2019
Penulis: Mizzart Al-Fatih
Editor: Farid Lisniawan Muzakki
Dokumentasi: Mizzart Al-Fatih
Tentang GUIM