Kamus berperan penting dalam sastra suatu bahasa. Kamus telah menjadi salah satu sumber literatur utama yang berisikan makna-makna tiap kata. Seseorang tidak perlu lagi repot-repot mencari sastrawan atau ahli bahasa untuk memahami arti suatu kata karena idealnya kata tersebut dapat dicari di dalam kamus. Selain definisi, seluruh konjugasi dan penggunaan imbuhan yang tepat dari kata tersebut dapat juga ditemukan di dalam kamus. Dewasa ini kamus tidak hanya berbentuk sebuah buku.
Di era perkembangan teknologi yang sedang gencar-gencarnya, kita bisa menemukan kamus online yang efektif dan mempercepat pencarian arti sebuah kata. Namun demikian, kamus besar bahasa Indonesia, atau lebih dikenal dengan singkatan KBBI, masih jarang dimiliki dan digunakan oleh masyarakat Indonesia. KBBI yang sepatutunya menjadi referensi pokok dalam aspek linguistik malah dirasakan tidak terlalu penting bagi berbagai kalangan orang. Dalam esai ini dibahas lima kekurangan yang menjadi alasan utama mengapa KBBI sering dianggap kurang komprehensif
Pertama, dibanding kamus dari bahasa lain, KKBI masih kurang terperinci dan informatif. Contohnya untuk kata ‘rotasi’ atau rotation dalam bahasa Inggris dan rotatie dalam bahasa Belanda. Definisi kata tersebut dalam KBBI adalah perputaran – hanya perputaran; sedangkan dalam kamus bahasa Inggris Oxford kata yang sama didefinisikan sebagai aksi berputar mengelilingi sebuah aksis atau pusat. Definisi yang serupa ditemukan di kamus bahasa Belanda Prisma: rotasi adalah perputaran disekeliling aksis atau titik tengah.
Kedua, KBBI tidak menggunakan International Phonetic Alphabet (IPA) sebagai sistem notasi fonetik dari kata-kata yang tertera di dalam kamus. Padahal mayoritas kamus dan jurusan linguistik di berbagai belahan dunia menggunakan sistem internasional tersebut karena sistem tersebut sudah distandrisasi dan dikenal secara universal. Hal inilah yang menyebabkan mengapa ada orang Indonesia membaca nama negara mereka dengan “endonesia” karena pengaruh bahasa Belanda di zaman penajajahan, “indonesyia”, atau juga “indonesia” tanpa bunyi “sy” di bagian “sia”. Begitu juga dengan kata “masyarakat”, ada yang membacanya “masiarakat” dengan bunyi “si” di bagian “sya” dan ada juga yang untungnya tetap membacanya “masyarakat”. Contoh lain terkait pengucapan kata “kreatif”. Kebanyakan masyarakat Indonesia membacanya “kreatip” dan hanya segilintir orang yang membacanya “kreatif” dengan bunyi “f” yang jelas di akhir. Satu contoh lagi yaitu kata “ikhlas”.
Orang tertentu membacanya “ihlas”, dan orang tertentu lainnya membacanya “iklas”, atau pun “ikhlas” seperti kho (خ) dalam bahasa Arab. Mungkin perbedaan dan tidak adanya konsistensi dalam pengucapan ini terkesan sepele dan bukan masalah besar. Namun inilah yang membuat anak-anak Indonesia sukar mempelajari bahasa lain. Mereka jadi tidak peka bahwa terdapat perbedaan pengucapan pada kata she dan see dalam bahasa Inggris, begitu juga pada kata sheep dan ship. Absennya metode pengucapan suatu kata di Indonesia membuat tidak ada standar dalam pengucapan bahasa Indonesia. Padahal, apabila KBBI menggunakan IPA, maka tidak hanya saja orang Indonesia yang dapat menggunakan kamus tersebut, namun juga orang-orang dari luar negeri yang ingin mempelajari bahasa Indonesia.
Kekurangan ketiga dari KBBI adalah kamus tersebut masih relatif tidak lengkap. Pengguna KBBI masih kerap dikecewakan dengan tidak ditemukannya kata-kata yang dicari. Kata-kata seperti nama negara Jerman, singkatan PBB, dan istilah medis yang sudah umum seperti “hipoksia” tidak dapat ditemukan di KBBI. Padahal semua contoh tersebut dapat dicari definisinya di kamus bahasa Inggris Oxford, kamus bahasa Belanda Prisma, dan kamus bahasa Jerman Duden-Wissensnetz
Keempat, hanya ada sedikit contoh kalimat yang ditemukan di KBBI. Padahal tersedianya contoh kalimat sangatlah esensial agar pengguna KBBI dapat menggunakan kata yang dicari dalam konteks yang benar. Dengan adanya contoh kalimat, seseorang bisa mengetahui apakah frasa “bangga akan” dan “bangga dengan” sama-sama benar atau hanya salah satunya saja.
Kelima, KBBI tidak dilengkapi dengan penjelasan singkat mengenai asal usul kata atau penurunan kata. Kamus bahasa Inggris Merriam-Webster dan Oxford selalu mencantumkan asal usul kata di bawah penjelasan definisi dari kata tersebut. Dengan mengetahui penurunan kata, seseorang bisa lebih memahami kata yang dicari karena ia jadi dapat mengetahui sejarah perubahan ejaan dan transisi makna kata tersebut. Salah satu manfaat dengan tersedianya penjelasan tersebut adalah siswa jadi dapat tahu mengapa yang benar itu adalah “apotek” bukan “apotik” karena kata itu diserap dari bahasa Belanda yaitu apotheek. Penjelasan bahwa yang benar adalah “risiko” bukan “resiko” juga jadi dapat lebih diterima karena ternyata kata tersebut adalah kata serapan dari kata risico dalam bahasa Belanda.
Semua kekurangan pada KBBI membuat kamus tersebut kurang bisa diandalkan. Padahal KBBI disusun langsung oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Seharusnya kamus ini bisa berkembang lebih baik dan terjamin karena langsung dari pemerintah. Oleh sebab itu, pemerintah sepatutnya memperbaiki kekurangan-kekurangan tersebut. Hal ini bisa dilakukan dengan diadakannya konferensi yang melibatkan sastrawan dari berbagai bahasa, ahli sejarah, dan ahli linguisti. Melalui konferensi itu berbagai macam pembahasan bisa dilakukan. Akademikus seperti insinyur, dokter, paramedis, peniliti dari berbagai bidang juga sebaiknya dilibatkan dalam penyusunan KBBI agar dapat dipastikan kamus tersebut mencakup defini istilah-istilah spesifik yang tidak mudah dipahami oleh alih bahasa. Revisi secara berkala dan penyediaan platform untuk menerima saran dan kritik dari masyarakat harus dipastikan ada. Dengan begitu, KBBI akan terus sesuai dengan perkembangan zaman dan evolusi bahasa.
Penulis:
Fikram Ahmad Fauzan - 04011181419074