[caption id="attachment_357606" align="aligncenter" width="300" caption="source: islamicblog"][/caption]
Hari itu hari pertama kulihat Aisya, gadis cilik cantik nan polos datang selepas magrib menjelang isya, menenteng tas kecil, beringsutmasuk masjid, mengambil posisi duduk di shaf depan, membuka tas, mengeluarkan iqro besar dan bicara sendiri, terpatah-patah mengeja a-ba-ta. Kami tercenung sesaat dan kemudian tergelak melihat tingkah polahnya. Anak ini datang darimana?? Pede banget datang sendirian. Kami celingak celinguk keluar berharap ada seseorang yang menemaninya.
‘eh, anak cantik, namanya siapa?’
‘Aisya’, jawabnya polos
‘Kelas berapa Aisya?’
Kelas 4—sahutnya sekenanya dengan malu-malu.
‘Sudah iqro berapa?’
‘Inia-ba-ta—‘ jawabnya sambil serius menekuri iqro
Wahh semangat amat.
‘Mau ngaji disini ya?’
Jawabannya hanya mengangguk-angguk
Tak lama, seorang ibu berumur datang, memanggil namanya, mohon diri pada kami. Seorang teman menyambut dan mengajaknya ngobrol.Ohh.. ternyata pengasuh Aisya yang dipanggilnya ‘Bibik’ itu.
Aisya sudah tampak bosan dan melepaskan jilbab yang membingkai wajahnya yang mungil dan berlari-lari kecil.
‘Naahh… ehh Aisya, ga boleh lari-lari di dalam masjid. Nanti dimarahi bu guru,’ teriak bibiknya.
‘Bibik… bibik sini..’ teriaknya riang
Dua hari kemudian, siAisya kerap datang ke Masjid karena mengirabelajar ngajinya mulai selepas magrib. Dan beberapa kali kami selalu mendapatinya bersama sang pengasuh, dengan wajah yang lucu sekali. Sering kami berdiskusi, kenapa sang bunda tidak pernah tampak mengantarnya? Aku iseng bertanyabeberapa hal pada Bibinya.
Ohh, ternyata Aisya yang beranjak TK ini sering ditinggal tugas bunda dan ayahnya. Ohh…. Bundanya pun sedanghamil adik Aisya. Oohh… Bibiknya yang tiap hari mengajaknya bermain. Ohhhh…dan masih banyak ohh… yang lain.
Sore itu Aisya kecil datang lagi. Kali ini jadwalnya benar--selepas ashar dan bertemu teman-temannya yang sebaya. Mungkin karena malu-malu ia tak berbicara, langsung menuju meja didepan salah satu guru, mengeluarkan iqro dan membaca dengan pedenya. A-ba-ta-tsa tanpa menghiraukan teman-teman sekitarnya. Si Bibik menemuiku dan meminta formulir pendaftaran. Kami senang Aisya akan menjadi keluarga besar kami.
‘waduh, bibik ndak bisa baca formulirnya ini bu,’
‘Hmm boleh diisi dirumah kok bu,’
‘ kalau begitu Besok saja biar bundanya yang mengantar formulirnya ya,’
‘Boleh-boleh’
Beberapa lama berselang, Aisya tak kunjung Nampak. Sering kami membicarakannya, membicarakan bundanya,ayahnya yang tak pernah kami lihat dan kenal. Ahh.. tiba-tiba kami jadi rindu wajah betawi-arabnya, rambut keriting dan tingkah polahnya yang lucu. Kami menebak-nebak, kemanakah si kecil Aisya?
Suatu sore kawanku mendapatkan jawaban.
‘Kak, tadi aku ketemu si Bibiknya Aisya’,
‘Oh ya?’
‘Bundanya sedang di eropa, jadi Aisya besok diajak sang ayah ke Malaysia.’
‘Wahh… sampai berapa lama?’
‘Tak tau nihh.. cuma begitu kata si bibik,’
Kami mengela nafas. Memandang Aisya seperti menisik hati terdalam kami melihat betapa banyak aisya-aisya kecil yang bermain sendirian ditengah kesibukan ayah bundanya. Anak-anak yang disibukkan dengan para pengasuhnya sementara kedua orangtuanya bekerja. Ahh… rasanya tak layak menghakimi, karena pilihan kehidupan selalu punya konsekuensi. Para orangtua yang terpaksa meninggalkan anak-anak mereka belum tentu juga bahagia menyerahkan waktu anak-anak mereka ke tangan pengasuh. Termasuk si kecil Aisya. Justru kami layaknya salut kepada orangtuanya, dalam jejal hedonic yang menggila, mereka masih berusaha menanamkan benih kebaikan dengan mengajarinya alif-ba-ta, mendaftarkannya mengaji—walaupun belum meregistrasi—tapi kami berharap Aisya akan kembali ke kelas, belajar lagi dengan wajah polos dan tingkahnya yang unik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H