Mohon tunggu...
Geosa Dianta
Geosa Dianta Mohon Tunggu... wiraswasta -

dreamer! hobi beli buku dan menulis tentang hal-hal sosial dan psikologi manusia . \r\nsila longok-longok blogku di bukulife.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Kupluk goes to Madinah (Part 1)

24 Agustus 2013   15:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:52 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_283081" align="alignleft" width="300" caption="dok.pri"][/caption]

Kotak--Kotak--Kotak

--Madinah, kota cahaya ini ditata dengan  simetris dan teratur. Blok-blok bangunan di sekitar Masjid Nabawi dan perumahan-perumahan penduduknya mengingatkanku pada  permainan lego. Kotak-kotak-kotak dan kotak. Saking begitu eksotiknya bangunan kotak-kotak-kotak dan blok-blok perhotelan, serasa hidup dan berjalan di miniatur kota dalam kotak kaca. Blok-blok itu dipecah oleh jalan-jalan yang saling bersimpangan secara simetris. Namun umumnya  jalan-jalan di kota Madinah dibuat mepet dengan bangunan dan tidak lebar.  Tak  perlu membayangkan jalan-jalan sekelas Jalan Soedirman-Thamrin-Gatot Soebroto yang rata-rata dapat menampung 3-4 kendaraan dalam satu lajur. Jalan Di Madinah atau Mekkah umumnya dibuat  lebih sempit dengan maksud untuk menghalau panas dengan  memaksimalkan fungsi blok-blok hotel yang tinggi untuk menciptakan bayangan matahari. Selain itu juga menciptakan sirkulasi udara yang lebih adem. Tentu saja kepentingan ini tak lain dan tak bukan untuk membuat nyaman para jamaah yang berjalan dibawahnya.

Benar, negeri Arab yang secara geografis beriklim gurun itu ternyata mampu merekayasa siklus  alam dengan bantuan alam itu sendiri. Maka, walaupun Madinah minim sekali pepohonan, kita jarang merasa kepanasan atau berkeringat.  Nah, awalnya aku sempat merasa bimbang plus pusing  membayangkan suasana di negeri Arab itu bakal  gerah dan ruar biasa panas. Tahu sendiri iklim di Indonesia seperti apa hawanya. Apalagi sebagai perempuan, kebutuhan untuk thaharah dua kali lebih repot dibandingkan kaum lelaki. Secara personal, aku sangat bermasalah dengan lembab dan keringat. pokoknya serba  tak betah. Jika  berkeringat atau lembab sedikit musti ganti. Tak urung, satu koper gede itu isinya kebanyakan baju gantiku semua.

Nah, surprise! ternyata, Hari-hari di Madinah itu  malah jarang sekali berkeringat dan tidak merasa lembab. Padahal cuaca  panas dan matahari terik tak terkira. Alhasil baju ganti sebagian besar nganggur dalam  koper. Selain didukung oleh suhu udaranya yang lebih dingin dibandingkan di Mekkah, keutamaan negeri Madinah yang istimewa itu adalah mutlak karunia Allah SWT. subhanallah.

Cadas-cadas hitam, kecoklatan, kekuningan bergelung dengan cuaca panas  kering yang sebagian besar tanpa awan, dan iklim subtropis. Tapi hampir di siang menyengat, tubuh kita secara ajaib mendingin, hangat, sweatless, hampir tanpa keringat. bukan karena AC, kipas angin atau penyejuk ruangan yang mutlak dirancang hampir di semua bangunan bangunan di  Madinah dan Mekkah. Ada suatu metabolisme tubuh unik yang terjadi ketika masuk di bangunan megah nan akbar ini, menghangat dengan sendirinya dan kemudian mendingin. Kupikir secara logika ini lebih dikarenakan kondisi spiritual kita yang merasa damai dan aman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun