Mohon tunggu...
Geosa Dianta
Geosa Dianta Mohon Tunggu... wiraswasta -

dreamer! hobi beli buku dan menulis tentang hal-hal sosial dan psikologi manusia . \r\nsila longok-longok blogku di bukulife.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Seekor Anjing Menelan Kepala Gadis Kecil

16 Januari 2014   05:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:47 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_316119" align="aligncenter" width="300" caption="thatcutepic.com"][/caption]

Judulnya maksa banget, tapi inilah yang terjadi, mewakili kegetiran hati saya sebagai seorang perempuan,ibu dan pendidik. Bagaimana tidak, melihat anak-anak  sekarang yang gaya hidupnya serba hedonis, lebih lagi para orangtua yang permisif—serba boleh, ora eman (jawa.red)—terhadap kemauan anak-anaknya, padahal sejatinya kita sebagai orangtua seharusnya memberi contoh yang baik bagi anak-anak kita. namun  dilapangan, fakta itu masih jauh dari harapan. Alhasil, hasil didikan kitalah para orangtua yang banyak mempengaruhi perilaku anak-anak kita.

Tinggal di kota besar tidak segampang saya bayangkan, apalagi jika dibandingkan dengan bertahun-tahun menghidup udara kota pelajar yang santun. saya terlalu biasa berhadapan dengan masyarakat ‘baik-baik’-kalem-adem-ayem khas jawa yang tidak neko-neko sehingga ketika datang ke ibukota, merasa shock melihat ‘kelakuan’ masyarakat kota besar yang serba heterogen,ceplas-ceplos-banyak omong, banyak cincong—kate orang betawi, banyak menuntut  tapi nol action- NATO-. Salah satunya  ketika mengamati bagaimana anak-anak ibukota  ini berperilaku.

Tidak sekali dua saya menemukan  anak-anak  yang  apatis, kurang  punya rasa empati dan  unggah-ungguh dalam bersosial. Dan entah mengapa, yang justru sering saya jumpai adalah anak-anak perempuan. WOW!

Suatu waktu dalam angkot, naik segerombolan gadis sekolah menengah pertama yang ributnya luar biasa. Rasanya angkot yang kecil ini penuh sesak oleh suara mereka. saya menyimak percakapan khas anak-anak  perempuan yang tidak jauh-jauh soal gebetan mereka, seputar cowok yang ditaksir, konflik dengan sesama anak perempuan, sampai ada yang menyelutuk, ‘ gilaaak si Dey  anjing,  kemaren gw tungguin di gerbang, ga jadi nganter gw pulang,’

‘eh, somplak cowo loe tuh,’ disambut tawa anak-anak gadis yang lain.

“WHAAAT??”

Lain lagi, kali ini dua anak gadis yang naik dan mengambil duduk di belakang angkot, sontak diluar ada beberapa temannya yang tengah berjalan kaki, diteriakinya pula dari jendela angkot yang terbuka,

‘’woeee….. anjing, Citra cs masih disono tu, nungguin loe pada..’

Disambut teriakan dan tawa yang disahuti. Sayup-sayup saya pun masih dengar kata ‘ anjing’  juga dari mulut anak-anak yang berjalan kaki.

Ternganga saya  mendengar percakapan anak-anak yang saya amati dari ujung atas sampai ujung kaki masih memakai seragam, anak kemaren sore, bahkan satu dua diantaranya berjilbab rapi. Mungkin bagi mereka, kata ‘anjing’ itu nothing, tak punya arti apapun, bisa berarti sapaan atau konjungsi semata yang bisa lumrah saja disematkan di depan atau belakang nama orang  untuk sekedar lucu-lucuan seperti halnya bahasa gaul lain:  PA , CTA, kepo dll. Tapi dari frasa etika, sungguh benar-benar tak pantas.

Ketika tinggal di luar jawa dulu, yang waktu itu belum seup-date dan semaju ibukota, kata ‘anjing’ masuk dalam kosakata makian sama halnya dengan kata ‘asu’ di jawa. Dan anak-anak  dilarang menggunakan  kata ‘anjing’, karena maknanya benar-benar sangat merendahkan dan melukai. Sama halnya dengan di Jawa, frasa ‘asu’ benar-benar digunakan untuk memaki. Itupun makian orang yang  lepas kontrol, (benar-benar) marah.

Lha kok,  di kota besar ini, kata ‘anjing’ begitu gampangnya bertebaran dimana-mana, diucapkan bahkan oleh anak-anak bau kencur.  Jiaaahhh…..

Saya heran luar biasa. Beginikah profil anak-anak yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah hebat di pusat peradaban? Ibukota gitu loh. Mentang-mentang kita berada di lingkunganmaju dan  beradab belum tentu perilaku kita sama beradabnya.  Itu baru satu contoh. Yang lebih miris, banyak orangtua  yang tutup mata melihat perilaku anaknya. Padahal ini soal etika dasar bergaul dan bagaimana menghargai orang lain. Suatu contoh, ketika datang di sebuah kelompok ibu-ibu,  saya memperhatikan  gadis remaja cantik anak salah satu ibu yang datang. Parasnya secantik Manohara, dengan potongan you can see yang –maaf—nerawang dan  hot pants yang menjerengkan paha mulusnya—HOT PANTS sodara-sodara! Padahal kaum ibu hampir semua berjilbab. Gadis yang usianya baru 13 tahun ini berlagak sok dewasa, mengangkangi kursi sendirian, berkutat dengan gadget, kakinya diongkang-ongkang ditengah ibu-ibu  padahal beberapa ibu berdiskusi sambil berdiri.  Bahkan, ibunyapun tak menasehati putrinya untuk bersikap santun dihadapan teman-teman ibunya yang lain agar menyilahkan yang lebih tua duduk atau sekedar memperbaiki posisi duduknya agar lebih sopan di hadapan orangtua. Hadeeuhhh… capee deeh!!

Saya ingat obrolan dengan seorang kenalan yang rela  menyekolahkan anak remajanya jauh di daerah   demi mendapat  pendidikan karakter yang lebih baik. Jawabannya kala itu, ‘ saya pesimis melihat perkembangan anak-anak ibukota yang makin terkorosi akhlaqnya, parahnya lagi saya ngeri membayangkan perilaku mereka yang serba hedon,’

[caption id="attachment_316120" align="aligncenter" width="300" caption="missingsecretforparenting.com"]

1389826004462183749
1389826004462183749
[/caption]

Ironis,  kemajuan peradaban berbanding terbalik dengan degradasi perilaku generasi mudanya. Anak-anak tak lagi santun bertutur, bersikap, bersosial dan kehilangan identitas budaya. Pertanyaannya kemudian, dimana peran orangtua dan guru mereka?  apakah cukup mengajarkan matematika dan logika berpikir? Apakah cukup  mendatangkan guru les piano, bahasa inggris dan memarahi jika salah? Mungkin ada yang menganggap ‘lebay’ sampai menyekolahkan anak jauh-jauh ke luar kota hanya karena  tidak kuat menghadapi gempuran  gaya hedonis, tapi saya rasa wajar. Orangtua manapun pasti akan memiilih pendidikan yang baik untuk anak-anak mereka.  Sebenarnya yang lebih penting, orangtua yang paling bertanggung  jawab mengajarkan ETIKA ketika  materi itu tidak masuk kurikulum sekolah. Ini penting, karena interaksi orangtua dengan anak lebih lama dibandingkan ketika di sekolah.  Bukan berarti para guru tak punya andil, walau faktanya banyak guru justru banyak  yang ‘keok’ dihadapan orangtua.  Seperti ungkapan diatas, banyak tuntutan terhadap guru tapi  kurang berempati dengan tugas dan kewajiban guru yang luar biasa banyaknya. Jadi kenapa tidak dimulai dari keluarga?  walau tak ada aturan dan batasan jelas bagaimana seharusnya mengajarkan  ETIKA, mulai menanamkan karakter yang baik. Solusinya, jadilah kita orangtua bijak, kembali belajar norma agama yang paten, menggali budaya  lokal yang kaya filosofi dan pakem hidup. Tak ada salahnya menerapkan pada diri sendiri sebelum mentransfer ke anak-anak kita. Agar kita tak sekedar dianggap banyak cincong bin NATO.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun