[caption id="attachment_199888" align="alignleft" width="300" caption="rachmaraikkonen.blogspot.com"][/caption]
Menyusun tugas akhir merupakan momok yang mengesalkan bagi mahasiswa. Tak terkecuali saya. Sebagaimahasiswa yang sudah kepalang tanggung ga pantes jadi mahasiswa saking abadinya menempuh studi dan tak patut untuk dijadikan contoh, menuntaskan kewajiban ini benar-benar menyita waktu dan butuh perjuangan dan semangat panjang yang kadang fluktuatif. Nah, Ketika bersemangatdisuatu waktu prosesakhir pembahasan penyusunan tugas akhir—terus terang ini hal yang amat sangat menyebalkan untuk saya lakukan=membuat print out ketikan.Mengapa? Karena ujungnyasaya akan sedikit menyesal, berapa jumlah kertas yang akan saya habiskan? Kurang lebih 230 halaman A4. Ga perlu heran,itu jumlah halaman terminim dan tertipis,masih kalah dengan beberapaorang teman angkatan saya yang bahkan hampir 500 halaman. Saya kadang mikir, nulis apaan ya, tugas akhir setebal itu. Persoalannya yang membuat saya sedikit kesal adalah dengan aturan baku penulisan tugas akhir yang rata-rata bernada sama. Inicontoh kutipannya:
Batas tepi (margin)
a.Tepi atas : 4 cm.
b.Tepi bawah: 3 cm.
c.Tepi kiri: 4 cm.
d.Tepi kanan : 3 cm.
Spasi bagian awal, bagian isi, dan bagian akhir
Bagian isi karya ilmiah
meliputi Bab I sampai BAB V, disusundengan menggunakan spasi ganda.
saya coba menggaris bawahi awal persoalan yang membuat kesal. Betapa tidak, aturan penulisan karya ilmiah bagian isi disusun dengan menggunakan spasi ganda, bisa anda bayangkan betapa borosnya seorang mahasiswa menggunakan kertas untuk mencetak karya ilmiahnya. Taruhlah contoh aturan baku ini diberlakukan untuk semua progam D3/S1/S2/S3 di UGM saja, dengan perhitungan kasar tiap tahun kampus ini meluluskan 4800 mahasiswa S1/D3 (dengan asumsi penyelenggaraan wisuda 4x/tahun), untuk S2/S3 sebanyak 3200 mahasiswa (dengan asumsi penyelenggaraan wisuda 4x/tahun), maka jika rata-rata mahasiswa S1/D3 menulis karya ilmiah sebanyak 100 lembar dan digandakan 5 kali hasilnya, dalam setahun mereka menghabiskan 2.400.000 lembar kertas. Untuk mahasiswa pasca lain lagi. Jika rata-rata 3200 mahasiswa itu menulis karya ilmiah 250 lembar dan digandakan 5 kali, hasilnya dalam setahun mereka menghabiskan 4.000.000 lembar kertas. Sekarang, hanya satu kampus saja totalnya 6.400.000 lembar kertas yang dipakai dalam setahun untuk menulis karya ilmiah. Bagaimana seribu kampus lainnya di jogja?bagaimana juga kalo seindonesia?
Kita berangan lagi. Jika kertas yang kita gunakan ini berasal dari pohon, dan dari satu pohon itu dapat menghasilkan kertas 15 rim (1 rim=500 lembar) atau sebanyak 7500 lembar. Maka, untuk memenuhi hajat para mahasiswa di UGM ini,kita harus menebang pohon sebanyak 854buah/tahun. Ini baru satu kampus. Bagaimana seribu kampus yang lain?
[caption id="attachment_199890" align="aligncenter" width="300" caption="klosetide.wordpress.com"]
Tak dinyana, perilaku boros kita terhadap penggunaan kertas justru paling banyak dari kalangan akademis intelektual. Tanpa sadar, kitalah sebab utama deforestasi dan bisa jadi perilaku para illegal logging yang marak diluar sana adalah karena kita juga. Fakta bahwa saat ini di Indonesia diketahui telah terjadi kerusakan hutan yang cukup parah. Bahkan berdasarkan data statistik kehutanan, luas hutan Indonesia telah menyusut dari 130,1 juta ha (67,7 % dari luas daratan) pada tahun 1993 menjadi 123,4 juta ha (64,2 % dari luas daratan) pada tahun 2001. Penyusutan ini disebabkan oleh penjarahan hutan, kebakaran, dan konversi untuk kegiatan lain seperti pertambangan, pembangunan jalan, dan permukiman. Sekitar 35 % dari hutan produksi tetap seluas 35 juta ha juga rusak berat. Hutan yang dapat dikonversi kini tinggal 16,65 juta ha. Apabila dengan laju konversi tetap seperti saat ini maka dalam waktu 25 tahun areal hutan konversi akan habis. Saat ini laju deforestasi hutan Indonesia diperkirakan sekitar 1,6 juta hektar per tahun (Dephut, 2009). Dengan kerusakan seperti tersebut diatas, tentu saja proses penyerapan karbondioksida (CO2) tidak dapat optimal. Jika vegetasi berkurang, sedangkan emisi CO2 terus meningkat, maka jelas akan mengakibatkan peningkatan CO2 dalam atmosfer yang tidak terkendali (Lakitan, 1994).
So, sekarang pantaskah kita masih berkoar-koar menuding pihak satu-pihak dua sebagai penyebab kerusakan hutan sedangkan kaum intelektual itulah sumber utama masalah kerusakan hutan? Karya ilmiah adalah bagian dari sebuah cara bijak menemukan sebuah solusi, namun jika prosesnya ini menimbulkan masalah lain yang berantai, sama artinya bahwa kita tak punya pertanggungjawaban intelektual. Karya ilmiah kita mungkin lebih baik didaur ulang. Suatu saat saya berharap Jika saja sistem sekecil‘penulisan karya ilmiah’ ini bisa diatur secar bijak, ini luar biasa artinya, setidaknya, inilah karya ilmiah terbesar kita, para kaum intelektual terhadap kelestarian alam dan lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H