Pada tahun 1958, seorang profesor palsu bernama Djokosutomo membuat gelar pendidikan sendiri, menjadi Profesor Djokosutomo. Ia tidak pernah sekalipun menjalani pendidikan tinggi, pendidikan terakhirnya adalah pada tingkat sekolah rakyat yang setara dengan tingkat sekolah menengah pertama (SMP). Ia berhasil menipu ribuan orang dengan mendirikan universitas dan membuka pendaftaran. Sebanyak 7000 orang mendaftar dan diharusnya membayar biaya sebesar Rp 7.500,00, sebuah angka yang cukup besar pada zaman tersebut.Â
Kisah tersebut merupakan gambaran dari kenyataan yang seringkali terjadi di dunia pendidikan masa kini. Banyak tenaga pengajar yang tidak memenuhi kualitas untuk mengajar, tetapi memaksakan diri untuk menjadi pengajar. Hal tersebut tentu akan membuat kualitas pendidikan di Indonesia sulit untuk berkembang. Tindakan lain, seperti plagiasi dan perilaku suap menyuap agar mempermudah mereka mendapatkan gelar juga turut menambah permasalahan yang ada di dalam dunia pendidikan Indonesia ini
Bagaikan benalu yang tumbuh di tengah keindahan bunga, tindakan dari oknum-oknum tersebut telah mencoreng nama baik dunia akademik Indonesia. Mereka bertanggung jawab atas ketidakpercayaan masyarakat luas pada sistem pendidikan di Indonesia. Mereka tidak sadar bahwa perbuatannya mereka itu, dapat membawakan efek negatif yang amat terasa bagi dunia pendidikan Indonesia. Dengan demikian, diperlukannya semangat evolutif dari sektor yang terkecil hingga yang terbesar untuk dapat memperbaiki permasalah ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H