Latar Belakang
Â
Sebagian dari kita tentu masih penasaran bagaimana peran yang ideal dalam melihat relasi komunikasi antara negara dan masyarakat. Tentu hal ini menjadi prioritas tinggi untuk semua bagian dari negara dan masyarakat dalam memusatkan perhatian dan pengembangan metode pada hal-hal yang penting bagi setiap kehidupan masyarakat sebagai warga negara. Sebelumnya, ide komunikasi deliberatif muncul menjadi kekuatan untuk membangkitkan kesejahteraan masyarakat diaman model ini merepresentasikan bahwa hukum sebuah negara diperoleh dari diskurusus yang terjadi dalam dinamikan masyarakat sipil, agar partisipasi masyarakat terbentuk sebagai aspirasi yang dihargai secara setara (Sunstein, 1993).Â
Namun, pada akhirnya membuat pemerintah harus mengambil intervensi ketika muncul berbagai macam fenomena seperti distrupsi teknologi, pasar bebas, dan benturan agama, sosial budaya.Â
Di Indonesia, masalah satu sering ditimpa masalah lainnya karena tekanan publik pada isu dan peristiwa yang cepat sekali berganti dan menyebabkan negara kurang fokus pada relevansi satu masalah dan solusinya terhadap kehidupan banyak orang. Misalnya, ketika pemilu kita menemukan lebih besarnya pembahasan "politik suara" daripada isu-isu pendidikan politik moral pada publik. Alih-alih berfokus pada pendidikan dan peningkatannya, perhatian publik sering terarah pada anekdot sensasional, penyederhanaan masalah, atau skandal kehidupan pribadi pejabat publik. Akhirnya, kita jatuh kembali pada kebijakan yang salah atau buruk. Sementara itu, studi kesejahteraan psikologis "well-being" pada masyarakat sering mengindikasikan bahwa otonomi negara dan peran pemerintah sangat menentukan kepuasan hidup sebuah masyarakat (Pacek et al., 2019). Dengan hal itu, bagaimana komunikasi deliberatif dapat meningkatkan kesejahteraan psikologis masyarakat dalam suatu negara ?
Tesis : Komunikasi Deliberatif Terbuka dan Diskursus Argumentasi
Â
Apabila kita perhatikan secara luas, memang sedikit sulit untuk menentukan kriteria kerja pemerintah untuk mendukung demokrasi di Indonesia. Kriteria semacam ini sering diidentifikasikan dengan teori-teori kesejahteraan sosial yang tidak hanya harus masuk akal, tetapi juga praktis secara substantif untuk diterapkan. Sebab, jika negara memiliki perbandingan wilayah yang sangat banyak, dan budaya yang berbeda memang memiliki masalah yang kompleks karena terlalu sulit diatur. Pengukuran kesejahteraan tersebut selalu berlandaskan kinerja ekonomi. Ketika ekonomi meningkat, kemiskinan turun dan orang-orang dapat memperoleh berbagi macam hal yang berharga. Namun, ada yang lebih penting ketika itu terjadi. Yaitu, konsentrasi pada efek media, publik, perhatian pemerintah dan efek politik. Memastikan semua hal tersebut tidak mengacu pada kehendak perseorangan, ataupun kehendak umum. Melainkan proses keputusan politis yang terbuka dan diskursus argumentasi dalam komunikasi deliberatif (Wahyuni & Sri, 2015). Pernyataan ini mengasumsikan signifikansi aspirasi dan melibatkan pejabat pada tugas-tugas deliberatif dalam mendorong musyawarah semua orang baik struktur pemerintahan nasional maupun hak individu. Apabilah hak individu setiap masyarakat baik, maka bisa dipastikan setiap warga negara akan mendapatkan kesejahteraan "well-being". Sebab, pemenuhan hak setiap individu akan menciptakan well-being yang dimaksudkan lebih dari hanya sekedar kebahagiaan atau kepuasan bernegara (Ruggeri et al., 2020).
Â
Deliberatif Membuat Hukum Semakin Responsif Negara Kesejahteraan