Hoaks Vs Lancarnya Komunikasi Manusia Homo Digitalis
Tulisan ini saya harapkan dapat memberikan pengalaman pada kehidupan manusia yang penuh dengan drama. Lebih-lebih pandemi membuat manusia banyak terpenjara di dalam rumahnya, namun banyak ber-ide melalui platform digital, dan sosial media. Kemewahan yang dapat dimanfaatkan manusia dalam mengatur pikiran, serta topik-topik ujaran yang ingin mereka utarakan. Belakangan kita dapat menyebutnya sebagai homo digitalis, yaitu potensi komunikasi digital untuk menentukan perilaku, budaya, atau bahkan peradaban suatu masyarakat.
Cukup signifikan bahwa saat ini para homo digitalis bisa dikatakan tidak terganggu dalam interaksi, informasi, dan komunikasi. Mempercepat bisnis, proses belajar, melihat hiburan dan sebagainya. Saya ingin menggambarkan sebuah antusiasme manusia dalam menggunakan hebatnya teknologi komunikasi yang sudah merasuk kedalam kehidupan manusia.
Yufal Noah Harari pernah menulis Homo Deus dengan menggambarkan kemudian manusia akan menjadi dewa. Untuk itu, ujaran manusia saat ini yang mengkomunikasikan dirinya sebagai dewa saya anggap sebuah mode of being atau model kehidupan baru dan eksistensi dalam membentuk identitas manusia.
Saat ini, setiap manusia yang kurang berpikir kritis pasti akan menganggap sebuah kepastian adalah sebuah kepastian yang ada pada layer itu sendiri. Sulit sekali saat ini menentukan kebenaran dalam komunikasi, atau yang bias akita sebut potensi hoaks. Belum lagi menentukan, bahkan jari manusia mungkin lebih dahulu untuk mengucapkan kebencian jika tidak setuju pada satu hal yang dipahami di luar keyakinan dirinya sendiri.
Sebut saja mulai dari berita Vanesa Angel hingga keluarga dan harta warisan, kasus pelecehan wayang, perpindahan Ibu Kota Nusantara, BPJS Ketenagakerjaan yang belakangan ini merepresentasikan komentar-komentar dalam komunikasi manusia digital lepas dari substansi.
Fantisme manusia digitalis ini lebih penting dipertahankan ide-ide masing-masing individunya, daripada mencari sebuah alternatif yang dapat memberikan perdamaian, dan menyelesaikan masalah komunikasi manusia.
Namun, jika kita perhatikan,bentuk komunikasi tersebut sangat lancar sampai adda titik dimana manusia bosan, hening, dan berganti pada isu baru lainnya. Hingga kebenaran informasi sebelumnya juga ikut hilang tanpa kita menemukan pesan dan kesan berarti.
Modernitas dan Psikologi Fanatisme dalam Filsafat
Modernitas yang dirintis oleh Descartes mencoba menstabilkan manusia dengan dasar pengetahuan pada rasio dan pancaindra. Namun, mengapa komunikasi manusia semakin banyak jauh dari ilmu pengetahuan daan membawa banyak ketidakpastian? Apakah citra-citra manusia lebih penting sebagai sebuah kepastian, daripada kebenaran informasi itu sendiri?
Di abad ke 21 ini, perkataan Nietzche cukup relevan tentang "Ke mana pun aku pergi. Selalu mengikutiku seekor anjing yang Bernama ego". Ego manusia homo digitalis menjelma menjadi sebuah algoritma yang tidak jarang menipu. Lalu dimanakah fungsi berpikir pada homo digitalis saat ini?
Menurut saya, proses berpikir manusia saat ini berada dalam posisi gamang antara sebuah fiksi dan fakta. Dan ini merupaka efek dari sulitnya melakukan verifikasi pada informasi.
Saat ini, proses rasionalisasi manusia terjadi secara bersamaan dengan sentimentalisasi manusia. Kecanggihan teknologi komunikasi dan smartphone membuat manusia tidak menyadari bahwa dirinya bisa menghasilkan tindakan brutal lewat pesan-pesannya jika sentimentalnya tidak dikendalikan dengan baik.
Michael Foucault pernah memakai kata tanpa "sorot mata psikiatri" mengatakan tentang psikologi manusia saat ini di dunia digital mengabaikan komunikasi moral.
Kebebasan membuat manusia homo digitalis melambung sebebas-bebasnya seolah-olah menemukan dirinya menemukan dunia baru tanpa negara. Eksibisionisme, narsisme mendapat panggung dengan ditunjang fanatisme dalam kurangnya pengawasan moral.
Sentimentalisasi privat sebagai fanatisme ini dipengaruhi beberapa isu dari agama, ras, gender untuk membelah kesatuan informasi. Pada abad ke-18, David Hume lebih menggunakan istilah "antusiasme" sebagai adjektif fanatisme yang menyangkut sikap religi berlebihan, ekstrim secara buta. Fanatisme sekaligus merupakan masalah penting dalam menentang ideologi negara yang demokratis.
Dalam filsafat kontemporer dan pemikiran-pemikirannya, psikologi orang fanatis ini dianggap merupakan ciri individi yang mengalami instabilitas psikis. Atau isitilah lain juga seperti "fundamentalisme".
Berangkat dari tahun 2019 dalam Pemilu, fanatisme kemudian masuk kepada lanskap politik yang fenomenal yang menhasilkan istilah lawan dan kawan dapat membelah keluarga, menceraikan persahabatan, dan merusak hubungan kerja menjadi tegang.
Psikologi fanatisme menjadi "aku sudah online" dalam media sosial untuk membela suatu kepercayaan dan kepentingan berubah menjadi ujaran penuh kebencian pada orang yang bertentangan dengan dirinya.
Analisa dan Contoh Fanatisme dalam Cara Berpikir, Hoaks, dan Ujaran Kebencian
Era digital ini membuka pentas semakin transparan dalam pamer fanatisme. Tidak perlu lagi ruangan khusus, panggung, aula auditorium dalam mempresentasikan ide propaganda. Isu yang lebih penting adalah narsisme yang penuh kebencian kepada yang berbeda pendapat.
Namun, dalam Analisa ini agar tidak miskonsepsi. Fanatisme tidak selalu negatif, namun dapat juga positif. Maka dari itu, fanatisme sangat melibatkan sudut pandang.
Hal yang perlu kita salami pertama kali adalah, mengapa orang menjadi fanatis dalam media sosial? Bagaimana dimensi psikologis orang-orang fanatisme tersebut?
Sebelumnya, dimensi-dimensi tersebut bermula dari cara berpikir, yang kemudian akan mempengaruhi cara bersikap dan cara berinteraksi. Apalagi seperti yang Heidegger bilang tentang bagaimana manusi asekarang mengabil realitas dari teknologi.
Secara psikologis, Kalmer Marimaa menyebutkan ciri-ciri orang fanatisme adalah: memiliki keyakinan dan keteguhan mutlak atas kebenaran dari pemahamannya sendiri, cenderung devosi pengorbanan diri untuk sebuah tujuan.
Fanatisme dimungkinkan juga karena kemajemukan kepemikiran akan pilihan kultural. Justru jika kita pelajari, orang-orang dengan tipe homogen dan terisolasi secara psikologis tidak akan muncuk problem fanatisme sebab semua anggota bisa dipastikan sepakat dengan nilai yang ada.
Maka dari itu, seperti yang dimaksudkan Heidegger, terkait dengan hoaks dalam dunia digital dan komunikasi, membuat manusia mustahil untuk mengisolasi diri. Justru, kebebasan berpikir dalam nikai, keyakinan, dan pilihan dalam banyak pilihan kultural membuat fanatisme ikut menjadi pilihan dan ambil bagian dalam kultural itu sendiri.
Lingkungan juga tentu memiliki pengaruh besar pada orang-orang fanatik. Psikologi fanatik tersebut di dukung oleh pesan komunikasi di internet yang ikut memodifikasi perilaku, karakter, dan sikap yang menentukan perubahan sosial.
Analisa saya juga berlangsung ketika kita kembali pada Pemilu Presiden di tahun 2019 yang secara nyata mengahsilkan dua kubu fanatisme Joko Widodo dan Ma'ruf Amin lawan kubu Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Kubu masing-masing bersemangat menyebarkan hoaks dan berbagai ujaran kebencian dalam bentuk kampanye hitam yang terindikasi ingin membenarkan sebuah pilihan dan argumennya.
Dengan ini, kita dapat melihat ada bakat seseorang menjadi fanatik. Kalmer Marimaa mengungkapkan secara psikoanalisis tipe ini memiliki gangguan teknis indentitas personal (transpersonal identity disorder).
Mengapa kemudian orang-orang fanatik ini berpotensi untuk menyebarkan hoaks dan ujaran kebencian?
Karena orang-orang ini tidak mau menyesuaikan isi kepala dengan dunia, namun sebaliknya. Memaksa dunia untu sesuai denga isi kepala mereka.
Sebuah Rekomendasi Penutup : Menata Kembali Psikologi Komunikasi Kritis
Maka, seluruh gambaran diatas tentu semakin mengerucut pada pertanyaan : Bagaimana seharusnya yang dilakukan manusia agar terhindar dari fanatisme dalam komunikasi digital? Mulai dari Descartes hingga Heidegger, satu hal yang saya lihat adalah kemuliaan manusia sebagai subjek rasional mulai terpinggirkan.
Menurut Heidegger, keterlemparan manusia ke dunia ini, membuat manusia memang harus berjuang dengan keterasingan dan kesehariannya. Teknologi yang kita gunakan, ternyata juga menggunakan kita.
Entah sadar atau tidak, psikologi kita terganggu untuk melihat realitas. Komunikasi digital merupakan kondisi baru bagi setiap manusia yang mempelajarinya. Kebenaran menjadi tidak benar, menjadi corong kebencian.
Psikologi fanatisme memberikan kita tantangan tentang pengambilan keputusan untuk keberlangsungan kehidupan sosial. Setalah ini bagaimana kita bersikap dan menentukan pesan yang akan diteruskan, akan berafiliasi pada handphone, atau laptop yang kita gunakan.
Kita harus segera menentukan mode of being versi kita sendiri yang mudah-mudahan tidak membawa kecelakaan pada manusia lainnya. Menata kembali kehidupan dengan mempelajari komunikasi, psikologi, membawa kita pada sebuah kesadaran bersikap kritis untuk perubahan dunia yang lebih cepat.
Kita perlu meninjau dan menata kembali yang Namanya "etika". Memahami konsepnya, dan implementasinya. Di satu sisi teknologi memperluas kemampuan manusia, di sisi lain mereduksi pengalaman manusia untuk membedakan antara realitas dan fiksi.
Jika etika komunikasi kita tidak tepat, maka kita akan mengajukan hoaks dan ujaran kebencian. Mempengaruhi psikologi kita, atau psikologis orang lain.
Maka dari itu, salah satu cara tegas adalah kembali pada etika milik Aristoteles, yaitu : akses yang berkeutamaan dan bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H