Sebuah Rekomendasi Penutup : Menata Kembali Psikologi Komunikasi Kritis
Maka, seluruh gambaran diatas tentu semakin mengerucut pada pertanyaan : Bagaimana seharusnya yang dilakukan manusia agar terhindar dari fanatisme dalam komunikasi digital? Mulai dari Descartes hingga Heidegger, satu hal yang saya lihat adalah kemuliaan manusia sebagai subjek rasional mulai terpinggirkan.
Menurut Heidegger, keterlemparan manusia ke dunia ini, membuat manusia memang harus berjuang dengan keterasingan dan kesehariannya. Teknologi yang kita gunakan, ternyata juga menggunakan kita.
Entah sadar atau tidak, psikologi kita terganggu untuk melihat realitas. Komunikasi digital merupakan kondisi baru bagi setiap manusia yang mempelajarinya. Kebenaran menjadi tidak benar, menjadi corong kebencian.
Psikologi fanatisme memberikan kita tantangan tentang pengambilan keputusan untuk keberlangsungan kehidupan sosial. Setalah ini bagaimana kita bersikap dan menentukan pesan yang akan diteruskan, akan berafiliasi pada handphone, atau laptop yang kita gunakan.
Kita harus segera menentukan mode of being versi kita sendiri yang mudah-mudahan tidak membawa kecelakaan pada manusia lainnya. Menata kembali kehidupan dengan mempelajari komunikasi, psikologi, membawa kita pada sebuah kesadaran bersikap kritis untuk perubahan dunia yang lebih cepat.
Kita perlu meninjau dan menata kembali yang Namanya "etika". Memahami konsepnya, dan implementasinya. Di satu sisi teknologi memperluas kemampuan manusia, di sisi lain mereduksi pengalaman manusia untuk membedakan antara realitas dan fiksi.
Jika etika komunikasi kita tidak tepat, maka kita akan mengajukan hoaks dan ujaran kebencian. Mempengaruhi psikologi kita, atau psikologis orang lain.
Maka dari itu, salah satu cara tegas adalah kembali pada etika milik Aristoteles, yaitu : akses yang berkeutamaan dan bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H