Mohon tunggu...
Gelora Nusantara
Gelora Nusantara Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Interested in politics, Immigration and Multiculturalism.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Artikel Kebijakan Visa RI di Kolom Pariwisata Koran Kompas

6 November 2014   17:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:29 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Sangat tidak logis mengharapkan turis untuk menghambur-hamburkan uang di Indonesia jika biaya visa sebesar USD25 ternyata dianggap menjadi penghalang rencana kedatangannya ke Indonesia.

Koran Kompas hari ini terdapat suatu artikel tentang rencana pembebasan visa bagi 5 negara  (Tiongkok, Jepang, Australia, Korea Selatan dan Rusia) di suatu kolom yang berkategori “pariwisata”. Rencana ini disampaikan oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya setelah rapat dengan Menteri Koordinator Kemaritiman.  Argumentasi pembebasan visa semata-mata ialah untuk meningkatkan jumlah wisatawan mancanegara hingga 500.000 orang. Argumentasi ini juga disertai dengan kalkulasi sederhana kemungkinan “pasti” kehilangan biaya visa (USD25 perorang) sebesar total USD 11,3 juta yang dianggap tidak seberapa dibandingkan dengan spending wisatawan  yang ditaksir mencapai USD 500juta.

Jika kita melihat sejarah pembebasan visa bagi warganegara asing, Indonesia sudah pernah melakukan kebijakan ini sebelumnya pada tahun 1990an sampai awal tahun 2000an kepada lebih dari 60 negara. Pada saat itu argumen yang ditampilkan sama seperti saat ini yaitu pembebasan visa akan meningkatkan jumlah wisatawan asing. Pada akhirnya kebijakan ini kemudian diperketat dengan kebijakan penetapan bebas visa hanya bagi negara yang juga dapat memberikan fasilitas bebas visa kepada warga negara Indonesia (asas timbal balik/resiprokal), akan tetapi untuk menfasilitasi wisatawan diberikan kemudahan visa kunjungan saat kedatangan (VKSK) atau yang lebih dikenal dengan sebutan visa on arrival (VOA) dengan biaya USD25 perorang bagi lebih dari 60 negara.

Pertanyaannya ialah apakah Pemerintah RI telah mempelajari sejarah tarik ulur kebijakan pembebasan visa tersebut diatas? Ketika terjadi perubahan kebijakan pembatasan pemberian bebas visa kunjungan tentunya ada beberapa argumen mendasar yang dibahas sehingga perubahan tersebut terjadi. Apakah argumen-argumen tersebut telah dikaji ulang dalam penentuan kebijakan rencana pembebasan visa saat ini?

Terkait kebijakan visa, pertama-tama harus dipahami bahwa pemberian visa di Negara Indonesia adalah domain pekerjaan dari 2 (dua) instansi yaitu Kementerian Luar Negeri  khusus bagi visa dinas dan diplomatic dan kedua ialah Kementerian Hukum dan HAM RI terkait visa selain dinas dan diplomatic. Secara khusus masalah visa di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM RI berada dibawah kewenangan Direktorat Jenderal Imigrasi. Melihat hal ini menjadi ironis bahwa kebijakan pemberian pembebasan visa ternyata dirapatkan antara Menteri Pariwisata dengan Menteri Koordinator Kemaritiman sementara focal point masalah ini seharusnya adalah Kementerian Hukum dan HAM RI. Tanpa perlu memperdebatkan panjang dapat disimpulkan bahwa kebijakan keimigrasian Indonesia saat ini tidak dirumuskan  ditangan instansi yang seharusnya menanganinya.

Salah satu contoh kebijakan tentang visa yang terakhir mencuat ialah pencabutan fasilitas visa on arrival bagi warga negara Iran sekitar akhir tahun 2013. Pemberian fasilitas visa on arrival bagi WN Iran merupakan lanjutan dari kunjungan Presiden SBY ke Iran pada waktu itu. Mungkin kebijakan ini didasari dengan pertimbangan geopolitik yang kental, akan tetapi satu hal yang pasti bahwa kebijakan ini gagal memperhatikan konflik sectarian dan horizontal yang terjadi di Iran bahkan sampai saat ini. Akibatnya banyak warga negara Iran diketahui berada secara illegal di Indonesia (melebihi izin tinggal/batas waktu visa) dan yang lebih parah lagi ialah mereka berusaha menyeberang secara illegal ke Australia dengan bantuan sindikat perdagangan dan penyeludupan orang. Saat ini, setelah masalah menjadi semakin runyam dengan Australia dikarenakan penyeberangan illegal, baru kemudian Pemerintah merevisi kebijakan pemberian visa on arrival bagi warga negara Iran. Hal ini tentunya dapat menjadi pelajaran bahwa kebijakan pemberian fasilitas visa (bebas visa, visa on arrival atau fasilitas visa lainnya) harus dilakukan melalui kajian yang holistik dan hati-hati.

Pertanyaan pertama yang mungkin diajukan terkait rencana pembebasan visa bagi 5 negara yang baru ini ialah apakah Pemerintah RI akan tetap berpegang pada kebijakan keimigrasian yang berlaku saat ini yaitu “berdasarkan asas resiprokal dan asas manfaat”? Sangat mengejutkan ketika melihat Australia sebagai salah satu negara yang diusulkan untuk mendapatkan fasilitas bebas visa mengingat integritas sistem visa Australia. Selama ini Australia hanya memberikan fasilitas bebas visa bagi warga negara New Zealand dengan dasar pertimbangan kedekatan dan tingginya mobilitas antara penduduk kedua negara. Menarik melihat apakah Australia akan juga memberikan fasilitas bebas visa bagi warga negara Indonesia dalam menanggapi rancana pemberian bebas visa oleh Pemerintah Indonesia. Ataukah Pemerintah Indonesia akan bertindak unilateral dalam memberikan fasilitas bebas visa untuk Australia dan pada akhirnya merubah/melanggar asas kebijakan keimigraiannya sendiri?

Jika Pemerintah Indonesia pada akhirnya memutuskan untuk bertindak unilateral dan mengesampingkan asas resiprokal, maka banyak hal yang harus menjadi pertimbangan Pemerintah Indonesia antara lain:

1.Anggapan bahwa dengan bebas visa wisatawan akan meningkat adalah mitos. Wisatawan tidak akan terpengaruh oleh pembebanan biaya visa sebesar USD25 perorang selama visa tersebut mudah didapatkan. Sangat tidak logis mengharapkan turis untuk menghambur-hamburkan uang di Indonesia jika biaya visa sebesar USD25 ternyata dianggap menjadi penghalang rencana kedatangannya ke Indonesia.

2.Penerapan visa, selain untuk alasan keamanan dan hukum keimigrasian juga merupakan lambang otoritas pemerintah atas pemberian izin bagi siapa-siapa saja warga negara asing yang berhak masuk ke wilayahnya dan untuk keperluan apa saja. Oleh sebab itu, penetapan bebas bisa sebaiknya dilakukan secara resiprokal, karena hal ini juga menyangkut harkat dan martabat Pemerintah RI dalam rangka perlindungan teritori Indonesia melalui pelaksanaan kebijakan dan fungsi keimigrasiannya.

3.Pemberian fasilitas-fasilitas keimgrasian oleh Pemerintah RI juga harus melihat trend yang berkembang di negara-negara terutama di kawasan Asia tenggara dan Pasifik. Aspek pengamanan dan penegakan hukum sampai saat ini masih menjadi aspek utama dari kebijakan keimigrasian di regional kita, terutama dipengaruhi oleh 2 negara tetangga terdekat kita yaitu Australia dan Singapura.

Presiden RI, sesuai dengan amanat UU no 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian, mampu menetapkan Kebijakan Keimigrasian Indonesia dan kebijakan ini akan dilaksanakan oleh Menteri Hukum dan HAM RI. Kebijakan terkait visa pada akhirnya akan dilaksanakan oleh Menteri Hukum dan HAM RI melalui Direktorat Jenderal Imigrasi. Direktorat Jenderal Imigrasi sebagai institusi terdepan dalam pelaksanaan  kebijakan keimigrasian di Indonesia sudah seharusnya menjadi institusi terdepan dalam rangka perumusan dan penerapan kebijakan keimigrasian Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun