Perayaan Idul Fitri atau Lebaran di Indonesia tidak hanya sekadar hari keagamaan, melainkan juga memuat dimensi kebudayaan. Oleh karena itu, sangat wajar bila hampir setiap daerah di Indonesia punya tradisi tersendiri dalam menyambut datangnya Lebaran. Banyak tradisi yang unik dan punya sejarah yang panjang, salah satunya di Yogyakarta.
Dalam kesempatan mudik ke Yogyakarta kali ini, penulis tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk nonton langsung prosesi Grebeg Syawal atau Garebek Sawal. Tradisi ini sudah diselenggarakan oleh Kesultanan Yogyakarta setiap hari lebaran sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Kali ini, Grebeg Syawal dihelat pada hari Senin tanggal 26 Juni 2017.
Sejak pukul 9.30 pagi, masyarakat sudah berkerumun di Alun-alun Utara untuk menanti prosesi dimulai. Bukan cuma yang berdomisili di Kota Yogyakarta saja, tapi banyak yang datang dari Bantul, Sleman, Kulon Progo, Gunung Kidul dan bahkan daerah di luar Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosesi ini juga menarik minat banyak wisatawan mancanegara yang sedang berlibur di Yogyakarta.
Prajurit Kraton Yogyakarta terdiri dari 10 bregada. Perbedaan antar bregada yang satu dengan yang lain ditentukan menurut atribut panji-panji atau bendera yang dibawa, warna dan motif busana, serta kelengkapan lainnya. Nama-nama bregada itu adalah Prajurit Wirabraja, Prajurit Daheng, Prajurit Patangpuluh, Prajurit Jagakarya, Prajurit Prawiratama, Prajurit Nyutra, Prajurit Ketanggung, Prajurit Mantrijero, Prajurit Bugis, dan Prajurit Surakarsa.
Akhirnya yang ditunggu-tunggu pun muncul juga yaitu Gunungan. Kraton Yogyakarta menyiapkan sebanyak tujuh Gunungan yang terbuat dari hasil bumi. Tujuh Gunungan ini meliputi tiga buah Gunungan Lanang, satu Gunungan Wadon, satu Gunungan Darat, satu Gunungan Gepak dan satu Gunungan Pawuhan. Ketujuh Gunungan tersebut menjadi simbol perwujudan sedekah dari Sultan untuk rakyatnya.
Tujuh Gunungan tersebut lalu diusung oleh para abdi dalem dari Alun-alun Utara Kraton menuju tiga tempat. Lima Gunungan dibawa ke Masjid Gedhe Kauman, satu dibawa ke Pura Pakualaman dan satu lagi dibawa ke Kantor Kepatihan. Masyarakat sudah sejak pagi menanti kedatangan Gunungan di tiga lokasi itu.
Penulis bergegas menuju Masjid Gedhe Kauman untuk mendahului datangnya Gunungan. Petugas keamanan baik para abdi dalem maupun polisi sudah berjaga-jaga di lokasi untuk memastikan acara yang diikuti oleh ratusan dan bahkan kemungkinan mencapai seribu orang itu bisa tetap berjalan tertib dan aman.
Benar saja, begitu sesi doa selesai dan aba-aba diberikan oleh petugas, massa langsung berlari ke arah Gunungan dan meraih apapun yang bisa mereka genggam dengan tangan. Dua hingga tiga orang bahkan memanjat Gunungan untuk mengambil bagian pucuknya. Suasana pun berubah jadi riuh ramai namun tetap terkendali.
Banyak orang yang percaya akan 'kekuatan' dari Gunungan. Jika mereka bisa mengambil beberapa bagian dari Gunungan maka itu akan memberikan berkah bagi kehidupan mereka dan keluarganya. Hal itu didasari keyakinan bahwa Gunungan sudah didoakan dan merupakan sedekah dari Sultan Yogyakarta. Kita patut menghormati kepercayaan tradisional yang sudah mengakar itu.
Acara Grebeg Syawal yang terus diselenggarakan oleh Kesultanan Yogyakarta sejak zaman dulu hingga era modern sekarang ini menunjukkan bahwa pelestarian budaya di Yogyakarta berjalan dengan baik. Terlebih lagi dengan status sebagai Daerah Istimewa yang kini disandang oleh Yogyakarta, maka tradisi budaya seperti ini kita harapkan akan terus berlangsung dan mendapat tempat di hati masyarakat hingga generasi-generasi berikutnya di masa depan. Yogyakarta itu istimewa karena budayanya yang penuh unsur filosofi dan sejarahnya yang panjang.
Ketertiban acara Grebeg Syawal berkat pengamanan yang baik itu juga patut diapresiasi. Tidak mudah menjaga kerumunan massa sebanyak itu. Ini sekaligus jadi bukti bagaimana masyarakat Yogyakarta bisa menjaga ketenangan dan kedamaian dengan tertib, sesuai tujuan acara yang penuh rasa syukur.