Bulan yang dinanti-nantikan oleh umat Muslim, Ramadan, telah tiba. Tahun ini, Ramadan dimulai sejak matahari terbenam pada Jumat, 26 Mei dan berakhir pada Sabtu, 24 Juni. Kehadiran bulan Ramadan menjadi momentum untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas ibadah. Tak hanya berpuasa, namun juga menjalankan sholat malam, membaca kitab suci Al-Quran, mendermakan sebagian rezeki untuk kebaikan, dan lain-lain.
Seperti halnya di negara-negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam lainnya, Ramadan di Indonesia berjalan dengan penuh kemeriahan dan membawa suka cita. Salah satunya adalah terkait dengan kuliner. Ramadan menjadi momentum bagi kita untuk merayakan kekayaan dan keberagaman kuliner lokal di Indonesia.
Sudah menjadi tradisi bahwa pasar takjil digelar di berbagai kota di Indonesia setiap sore menjelang waktu berbuka puasa. Pasar yang menjual aneka makanan untuk berbuka puasa ini dapat ditemui di hampir semua kota besar di Indonesia. Beberapa diantaranya tergolong pasar tiban, yaitu pasar yang terjadi secara tiba-tiba dan khusus pada rentang waktu tertentu.
Di pasar takjil, kuliner lokal berjaya dan menjadi primadona. Jajanan pasar legendaris yang sudah bertahan puluhan dan bahkan mungkin ratusan tahun lalu seperti Klepon, Kue Lumpur, Kue Apem, Bika Ambon, Carabikang dan Pisang Epe tersaji di lapak-lapak pedagang. Mereka bersanding dengan aneka minuman segar dan makanan penutup khas daerah seperti Es Pallu Butung, Es Pisang Ijo, Kolak Pisang, Es Dawet, Es Cendol, dan lain-lain.
Di beberapa kota, pasar takjil juga menjadi momentum kemunculan kuliner lokal yang ikonik karena hanya ada saat bulan Ramadan. Salah satu contohnya adalah Kicak yang bisa ditemui di pasar takjil di Jalan Kauman, Yogyakarta. Panganan ini terbuat dari beras ketan yang ditumbuk halus, gula, parutan kelapa, nangka, pandan dan vanili. Bahan–bahan ini kemudian dicampur jadi satu dan dikukus dengan kayu bakar. Kicak disajikan dalam bungkusan daun pisang dan rasanya gurih sekaligus manis.
Masyarakat Banjarmasin juga mengenal Kue Bingka yang lebih mudah ditemui saat bulan Ramadan dibandingkan bulan-bulan lainnya. Kue yang berbentuk menyerupai bunga berkelopak enam ini sangat cocok disantap sebagai hidangan buka puasa karena rasa manis yang dominan. Terlebih lagi dengan dilengkapi macam-macam toping, mulai dari nangka, pisang, coklat, keju, dan lain-lain.
Momentum kehadiran kuliner lokal pada saat bulan Ramadan ini adalah hal yang menarik dan sekaligus patut disyukuri. Bila di bulan-bulan lainnya masyarakat kita banyak mengkonsumsi makanan yang tergolong modern dan beradaptasi dengan menu dari luar negeri seperti aneka pastry, biskuit, sandwich, dan lain-lain, maka di bulan Ramadan ini justru kuliner khas yang menjadi primadona. Demikian juga dengan jajanan seperti Kolak dan Es Pisang Ijo yang lebih diingat saat memasuki bulan Ramadan.
Kue Apem, misalnya, punya sejarah dan filosofi yang menarik. Kue berbahan dasar tepung beras ini punya nama apem yang berasal dari Bahasa Arab yaitu afuan/afuwwun yang bermakna ampunan. Kue apem dibuat sebagai bentuk rasa syukur atas rezeki yang sudah dilimpahkan oleh Tuhan, sekaligus mohon ampun atas segala dosa yang dilakukan. Kue Apem juga dalam sejarahnya menjadi penyambung silaturahmi karena panganan tersebut dibagi-bagikan pada para tetangga dan mereka yang kurang beruntung.