Travelling sudah menjadi bagian dari gaya hidup anak muda masa kini. Bagi banyak orang, berwisata bahkan layaknya suatu kebutuhan yang wajib dipenuhi. Setidaknya satu kali dalam satu tahun, orang-orang melakukan perjalanan selama beberapa hari untuk berlibur.
Dalam beberapa tahun terakhir, liburan ke luar negeri semakin jamak dilakukan. Hal itu dikarenakan oleh kian mudah dan murahnya akses orang ke luar negeri. Ada banyak pilihan penerbangan dengan maskapai berbiaya rendah ke berbagai negara.Â
Belum lagi ada travel fair yang menawarkan aneka tiket promo, diskon besar hingga program cicilan kartu kredit untuk pembelian tiket ke luar negeri. Acara semacam ini bisa diadakan dua hingga tiga kali per tahun. Tak hanya di Jakarta, bursa wisata semacam ini juga sudah hadir di kota-kota besar lainnya.
Ketika sedang berwisata, orang diharapkan tidak hanya sekedar melepas penat dari rutinitas dan berjalan-jalan menikmati keindahan di destinasi wisata saja. Berwisata menambah pengetahuan akan hal yang baru dan memperluas pengalaman di tempat atau situasi asing. Sesuatu yang penting bagi proses pendewasaan anak muda.
Lalu bagaimana cara supaya kegiatan melancong kita bisa mencapai hal-hal yang positif itu? Ada berbagai tips yang dikemukakan oleh orang-orang seperti misalnya dengan memberanikan diri untuk melakukan solo travelling atau bepergian seorang diri, memperbanyak naik transportasi publik di negara tujuan, terlibat pada festival atau acara kultural yang diadakan warga lokal, dan lain-lain.
Mengapa? Setidaknya ada 3 alasan di balik pentingnya hostel bagi konsep travelling anak muda masa kini.
Pertama. Kehidupan di hostel lebih menempatkan kita pada keberagaman daripada di hotel.
Saat menginap di hostel, umumnya kita akan tinggal di kamar dengan kapasitas yang sedang hingga besar. Ada yang berempat, berenam, berdelapan bahkan bersepuluh. Semua tergantung pada luas ruangan kamar dan jumlah tempat tidur tingkat yang tersedia. Ini tentu lebih banyak dibandingkan bila di hotel yang kapasitas per kamar hanya dua atau maksimal tiga orang.
Dengan demikian, kita akan bertemu dengan lebih banyak orang. Jika di hotel kita baru akan bertemu dengan sosok-sosok asing saat makan pagi di restoran atau menunggu di lobi, maka di hostel kita akan mengalaminya di banyak tempat. Mulai dari ruangan umum seperti dapur bersama, ruang nonton TV hingga di kamar tidur.
Orang-orang yang ditemui pun bisa sangat beragam. Saat menginap di suatu hostel di Belanda dan Belgia tahun lalu, penulis berkesempatan sekamar dengan orang-orang dari Spanyol, Irlandia, Jepang, Amerika Serikat dan Rusia. Ada yang bepergian sendiri, ada pula yang bersama saudara, sahabat atau kekasihnya.
Interaksi pasti akan tercipta saat bertemu di kamar atau menyeduh kopi di dapur bersama. Mulai dari sekedar menanyakan kabar dan asal negara, berbagi cerita perjalanan, hingga bertukar informasi tentang negara asal masing-masing. Orang yang memilih menginap di hostel rata-rata bersifat extrovert, ramah dan suka bersosialisasi dengan orang lain. Jadi kita tidak perlu khawatir akan kesepian, asalkan kita sendiri juga terbuka pada orang lain.
Kesempatan mengenal orang-orang dengan beraneka latar belakang dalam waktu sekaligus ini bisa dibilang hanya ada saat di hostel, bukan di hotel. Bermula dari itu, kita bisa belajar sedikit atau mempraktekkan kemampuan bahasa lain dan bahkan mendapat inspirasi tambahan untuk travelling di tahun-tahun mendatang.
Kedua. Kehidupan di hostel memaksa kita belajar untuk memahami dan menghargai orang lain.
Seperti yang disebut pada poin pertama, kita akan merasakan hidup sekamar dengan orang asing yang tidak kita kenal sebelumnya. Di hostel, umumnya hanya tersedia satu toilet dan satu ruang shower untuk dipakai penghuni satu kamar bersama-sama. Hal ini akan mendorong kita untuk sabar saat mengantri giliran mandi atau buang air.Â
Saat sedang di toilet atau ruang shower, kita juga harus punya kesadaran diri untuk tidak berlama-lama dan menggunakan sesuai kebutuhan karena ada orang lain yang menunggu. Pastikan juga toilet kita tinggalkan dalam keadaan yang bersih.
Ketika berada di dapur bersama, kita harus berpegang pada prinsip kenyamanan kolektif. Alat-alat masak dan makan yang kita gunakan wajib dicuci setelahnya dan tidak boleh dibiarkan begitu saja di meja. Apabila ada cairan yang tumpah atau kotoran sisa saat kita memasak, maka kita akan dipandang tidak beretika atau bahkan langsung ditegur dengan keras jika tidak membereskannya saat meninggalkan dapur bersama.
Meskipun bisa dibilang privasi kita di kamar hostel itu terbatas, namun bukan berarti tidak ada privasi sama sekali. Kita harus menghormati teman sekamar kita dengan tidak menyentuh atau memindahkan barang-barang milik mereka, meminta izin lebih dulu saat akan mematikan atau menyalakan lampu tengah, tidak memandangi mereka yang sedang melepas atau memakai pakaian, dan lain-lain.
Tidak jarang kita dihadapkan pada kondisi yang menurut kita aneh atau bahkan mengganggu. Padahal hal itu adalah kebiasaan dalam budaya mereka. Misalnya orang Jepang yang mandi malam-malam sebelum tidur. Suara dari ruang shower berpotensi mengganggu ketenangan kita yang sudah berbaring di kasur dan sedang bersiap istirahat malam.
Ada juga kemungkinan mereka membawa makanan/minuman yang tidak kita sukai atau memasak makanan yang aromanya tidak biasa di hidung kita saat sama-sama berada di dapur, seperti alkohol, kari, ikan asin, dll. Kita bisa pula akan terganggu dengan suara musik yang 'bocor' hingga terdengar walaupun mereka sudah memakai headset. Inilah yang melatih sejauh mana kita punya toleransi pada orang lain dan seberapa besar kita menghargai kepentingan orang lain yang bersinggungan dengan kita.
Ketiga. Kehidupan di hostel membuka lebih banyak kesempatan untuk menyelami gaya hidup masyarakat setempat.
Saat berada di luar negeri, kita pasti ingin merasakan bagaimana masyarakat di negara setempat menjalankan kehidupannya sehari-hari. Untuk itu, kita biasanya akan googling mencari tahu dari laman blog perjalanan yang ada. Saat di hostel, informasi tentang hal itu bisa lebih banyak digali.
Kita dapat memperoleh informasi dari rekan satu kamar kita di hostel yang sudah tiba di negara tersebut lebih dulu daripada kita. Misalnya tentang restoran atau kafe yang paling hits di kota itu, jadwal atraksi budaya yang harus dilihat, makanan lokal yang tidak ada duanya di dunia, hidden paradise yang belum banyak diketahui wisatawan dan lain-lain. Informasi serupa juga bisa kita dapatkan dari penjaga atau petugas piket yang ada di hostel.
Berdasarkan pengalaman penulis, wisatawan yang tinggal di hostel kebanyakan adalah orang yang punya sifat gemar berpetualang dan mau repot 'blusukan' untuk membaur dengan warga lokal. Jadi, pengalaman dan pengetahuan mereka tentu sangat banyak dan mungkin lebih dalam dibandingkan yang pernah diulas di dunia maya.
Penjaga atau petugas piket di hostel juga biasanya lebih supel dan tidak kaku dibandingkan resepsionis hotel yang terikat pada standar pelayanan jaringan hotel. Selain itu, mereka juga terbiasa bergaul dan mengobrol dengan wisatawan-wisatawan yang 'aneh-aneh' dan 'unik' yang menginap di hostel. Oleh karena itu, mereka sudah siap bila ditanya hal yang macam-macam tentang seluk-beluk kota setempat. Beberapa dari mereka bahkan menawarkan bantuan bila kita membutuhkan pemandu wisata.
Dengan kehidupan hostel seperti yang dijelaskan dalam tiga poin di atas, maka harapannya ada hal positif yang dibawa setelah pulang dari travelling. Tidak hanya buah tangan, foto-foto yang memenuhi kamera/gawai atau sekarung baju kotor, lebih penting lagi bahwa kita dapat menjadi pribadi yang lebih sensitif dan toleran pada perbedaan serta lebih matang dalam menghadapi masalah yang timbul karena kesalahpahaman budaya.
Selamat jalan-jalan! Jangan lupa pilih ke hostel saat berlibur!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H