Alat musik gamelan memang merupakan warisan budaya dari Indonesia. Namun gemanya semakin mendunia ke berbagai negara. Gamelan bahkan sudah mulai go international sejak tahun 1889 saat kelompok gamelan dari Jawa tampil pada Paris World Fair di Perancis.Â
Data-data tentang siapa yang membawa rombongan karawitan untuk memainkan gamelan di Eropa pada masa itu sayangnya tidak lengkap. Namun yang jelas, komposer ternama dari Prancis bernama Claude Debussy adalah satu dari banyak orang yang terhipnotis dengan alunan suara gamelan di Paris saat itu.
Kini gamelan telah tumbuh dan menyebar ke banyak institusi pendidikan dan komunitas seni, museum dan galeri dunia. Gamelan menjadi alat ekspresi bagi berbagai seniman dunia. Setelah Prancis, gamelan hadir beserta komunitasnya di Inggris, Belanda, Jerman dan negara-negara Eropa lainnya.Â
Gamelan juga lalu menyeberang samudera hingga ke Amerika Serikat dan Kanada, tak terkecuali negara-negara Asia Pasifik, seperti Jepang dan Australia. Berdasarkan catatan dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, setidaknya 200 komunitas telah hadir di Amerika Serikat dan 158 komunitas di Inggris Raya.
Penulis berkesempatan untuk menyaksikan sendiri bagaimana gamelan mendapat apresiasi yang luar biasa dan memiliki peminat dalam jumlah yang besar dari masyarakat di belahan dunia lain. Hal itu adalah saat penulis ikut hadir dalam Festival Gamelan Internasional 2017 atau secara resmi bernama International Gamelan Festival 2017 yang digelar di Inggris Raya pada tanggal 8-14 September 2017 oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Di London, workshop dan seminar bertempat di SOAS University of London (the School of Oriental and African Studies). Selain workshop tentang permainan bonang, rebab, gender, suling, sindenan, dan lain-lain, juga ada tema-tema khusus seperti gamelan Bali, gamelan Banyuwangi, gamelan aliran Islam, dan lain-lain. Dua orang maestro gamelan yang telah malang melintang pengalamannya di Eropa dan Amerika, Prof. Rahayu Supanggah dan Prof. Sumarsam hadir langsung sebagai narasumber dalam beberapa workshop tersebut.
Berbeda dengan di London, workshop di Glasgow yang terpusat di Royal Conservatoire of Scotland (RCS) juga mengangkat tentang pementasan gamelan gaya baru yang memadukan gamelan dengan alat musik modern seperti gitar, bass, drum, serta media visual. Karya seni rupa bertajuk Sedna: Women Under The Sea adalah salah satu yang ditampilkan dengan iringan instrumen gamelan.
Sedangkan pertunjukan gamelan oleh komunitas di luar negeri ditampilkan dengan apik oleh Kelompok Lila-Bhawa Lila Chita (Bali) pimpinan Andy Channing, Kelompok Jagat Gamelan (Jawa) yang digawangi oleh Manuel Jiminez, Kelompok Siswa Sukra (Jawa) yang dikomando oleh Peter Smith, Kelompok Gamelan Southbank (Jawa) di bawah arahan John Pawson dan Kelompok Gamelan Naga Mas (Jawa dan Bali) dengan J. Simon van der Walt sebagai koordinator.
Puncak dari festival ini adalah pementasan Setan Jawa, sebuah film bisu karya sutradara kenamaan Indonesia, Garin Nugroho yang diiringi dengan sebuah orkestra gamelan yang komposisinya diciptakan oleh maestro gamelan dari Solo, Prof. Rahayu Supanggah. Film yang berlatarkan Tanah Jawa di era penjajahan Hindia Belanda itu berkisah tentang asmara dan pesugihan.