Apa yang terjadi jika kisah cinta Rama dan Sinta dalam kisah ramayana di adaptasi menjadi film? Garin nugroho sutradara jenius dari Yogyakarta ini berhasil membawa kisah ramayana menjadi sebuah adaptasi film yang sureal dan magis. Garin nugroho mengadaptasi kisah ramayana menjadi sebuah film dengan narasi yang tidak biasa. Garin menggunakan tembang jawa sebagai penghubung cerita antara film dengan penonton. Tidak hanya itu, garin juga menggambungkan berbagai cabang seni dari tari, seni visual, dan musik. Garin mengadaptasi kisah ramayana menjadi sebuah perpaduan antara sinema dan instalasi seni yang sangat menakjubkan.
Film ini merupakan kisah perjalanan cinta sepasang suami-istri yaitu Siti (Artika Sari Devi) dan Setio (Martinus Miroto) yang mulai lesu, dan kemunculan Ludiro (Eko Supriyanto) yang menambah konflik percintaan mereka. Namun, sepanjang film konflik yang muncul tidak hanya kisah cinta Siti dan Setio aja, Opera jawa meliputi kesenjangan sosial antara kaya dan miskin juga isu seksualitas dan gender. Opera jawa menggabungkan realis dan surealis sebagai dimensi ceritanya. Beberapa scene dalam Opera jawa merupakan penggambaran sureal konflik Siti dengan dirinya sendiri.
 Scene diatas menampilkan isu seksualitas, dimana Siti yang merupakan istri dari Setyo mengajak Setyo untuk berhubungan badan, namun Setyo menolak. Terlihat bagaimana Setyo kurang mengapresiasi Siti sebagai istri. Disisi lain, muncul ludiro yang keluar dari dalam kukusan dan masuk kedalam pakaian Siti. Scene Ludiro yang muncul dari dalam kukusan merupakan penggambaran surealis dimana Siti yang ditolak oleh suaminya mulai mengharapkan ludiro.      Â
Roland Barthes, seorang semiotikus dari Prancis dalam bukunya Mythologies
(1972) menjelaskan konotasi kultural dari berbagai aspek kehidupan keseharian. Tujuanya adalah untuk membawakan dunia tentang “apa-yang terjadi-tanpa-mengatakan“ dan menunjukan konotasi dunia tersebut dan secara lebih luas basis idiologinya. Semiotika Roland Barthes tidak hanya terbatas pada teks tulis, namun juga bisa digunakan untuk analisis teks verbal.
Dalam scene tersebut ditunjukan suasana kamar yang sepi dan kosong. Siti dan Ludiro menggunakan pakaian berwarna merah. Dalam pemaknaan tanda, Roland Barthes membagi analisis semiotikanya menjadi 3 yaitu denotasi,konotasi, dan mitos. Denotasi dalam analisis semiotika roland barthes adalah makna yang bersifat langsung atau makna sebenarnya.Â
Dalam scene diatas ditunjukan kamar dari Siti dan Ludiro, Siti dan ludiro juga menggunakan pakaian dengan warna sama yaitu merah. Lalu muncul Ludiro dari dalam kukusan. Konotasi dalam analisis semiotika Roland Barthes merupakan makna simbolik yang ingin ditunjukan pengarang/pembuat karya. Dalam scene Opera Jawa diatas menunjukan kamar yang kosong dan sepi, hal ini merupakan penggambaran makna simbolik dari gairah dari pasangan Siti dan Ludiro yang kosong.Â
Sedangkan pakaian yang digunakan Siti dan Ludiro berwarna merah dapat dimaknai dari gairah yang menggebu-gebu, Siti yang memiliki gairah yang menggebu-gebu mencari perhatian kepada Setio walau akhirnya ditolak. Lalu Adegan ludiro yang keluar dari kukusan. Kukusan disini merupakan penggambaran perasaan Siti, dari awal film Siti kukusan selalu disimbolkan dengan kebimbangan perasaan Siti sebagai wanita, istri, dan manusia.Â
Ludiro yang muncul dari dalam kukusan merupakan penggambaran surealis dari Siti yang mulai mengharapkan perasaan cinta kasih dari Ludiro. Mitos dalam semiotika roland barthes adalah pengembangan dari makna konotasi, jelasnya adalah makna konotasi yang berkembang di masyarakat/cultural.Â
Penolakan yang dilakukan oleh Setio kepada Siti dan munculnya Ludiro dari dalam kukusan, merupakan penggambaran rasa frustasi Siti dalam mengutarakan perasaannya dan meminta haknya kepada setio sebagai istri. Pertentangan tadi dapat dimaknai kompleksitas perempuan Jawa dalam hubungan suami-istri untuk mengutarakan hak-haknya dalam hal-hal seksual maupun lainnya.
Tokoh Siti dalam Opera Jawa dapat dimaknai sebagai representasi perempuan jawa untuk memperoleh dan mempertahankan hak-haknya baik dalam relasi istri-suami maupun perempuan-lelaki  dalam kehidupan sehari-hari. Film Opera Jawa merupakan pengingat bagi seluruh masyarakat untuk tidak lagi melanggengkan otoritas patriarki yang menekan perempuan dalam kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H