Mencintai sesuatu dan menanamnya kuat-kuat hingga menjadi tekad adalah hal mudah untuk kehidupan milenial. Memilih hingga melakukan sesuatu tanpa peduli dibatasi identitas apa yang melekat pada diri. Apa yang terjadi ketika itu semua digunakan dan dijadikan sebuah permainan bagi kelompok yang berkuasa? Roh Ki Soo dan korban tahanan perang lainnya berjuang dengan polemik itu dalam film Swing Kids (2018).
Ras dan nasionalisme adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan berbangsa. Anda pasti ingat, dari sejak era Belanda terhadap Indonesia hingga era milenial penjajahan masih kerap terjadi.
Ras identik dengan penindasan terhadap mereka yang berkuasa terhadap mereka yang terjajah. Begitu kurang lebih yang ditampilkan dalam sebuah film. Nasionalisme akan hadir sebagai pemantik dua kubu untuk mempertaruhkan harga dirinya.
![Viki.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/11/swing-5fabede428276641c8335e82.jpg?t=o&v=770)
Betul, anda benar sekali! Salah satu tentara pentolan dari Korea Utara jatuh cinta terhadap budaya dari ras lawannya. Roh Kisoo yang diperankan oleh DO personil EXO merasa dilema antara keinginannya belajar tap, membebaskan bangsanya, atau menyelamatkan adiknya.
Bisa anda bayangkan seorang DO menarikan tap dengan logat Korea Utaranya?
Keragaman Ras dan Kekuatannya Masing-Masing dalam Kamp Tentara Tahanan Perang
Berbicara mengenai ras, apa yang pertama kali muncul dalam benak anda? Tidak jauh dari apa yang terlihat bukan? Penampilan fisik seseorang terkait warna yang ada pada dirinya.
Dalam buku An Introduction To Criticism: Literature/Film/Culture karya Michael Ryan (2012) ras dipahami sebagai sesuatu yang terlihat dari fisik manusia.
Ras atau etnis dapat dilihat dari warna kulit, iri, kelopak mata, postur tubuh dan penampilan fisik lainnya. Kelima aspek ini bisa ditemukan dengan mudah dalam film Swing Kids (2018).
![KoreanIndo.net](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/11/11/ras-5fabee4d2827667cbb5a47d2.jpg?t=o&v=770)