Mohon tunggu...
Gen Mancha Koesoema
Gen Mancha Koesoema Mohon Tunggu... Swasta -

Penulis bayang-bayang dan penikmat kepura-puraan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Airlangga atau Ade Komarudin

12 Maret 2016   13:00 Diperbarui: 12 Maret 2016   13:20 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Membaca Golkar dengan alur sejarah yang panjang tidak cukup dalam tulisan yang singkat seperti ini. Riak gelombang Reformasi yang gerakan kepeloporannya masih diklaim sepihak oleh mahasiswa, Gerakan untuk mewujudkan babak baru perubahan multidimensional dengan suguhan agenda demokratisasi. Dinamika politik reformasi 1998 rentan waktu yang pas dan menarik untuk membahas Golkar terlebih pada pemilu 1999 dimana Golkar menjadi pemenang nomor dua setelah PDIP.

Gerakan reformasi ini telah berhasil mencuri perhatian elit nasional terlebih Golkar yang terus-terusan menjadi sasaran tembak. Karena dianggap penyokong utama kekuatan Soeharto dalam dominasi kekuasaan Indonesia selama puluhan tahun lamanya, demontrasi untuk membubarkan Golkar pun terjadi dimana-dimana. Mau tidak mau, diakui atau tidak Golkar penyumbang terbesar kekuataan Orde Soeharto.

Stigma politik yang dilekatkan  segera direspon dengan mendengungkan gagasan kepartaian, Langkah pembenahan dan transformasi dilakukan oleh Golkar dan menjelma menjadi partai politik. Langkah kongrit untuk mempersiapkan diri supaya tetap survive dalam kancah politik nasional; terlebih untuk keluar dari stigma Soeharto-is, bukan Organisasi Fungsional lagi. Apalagi undang-undang mensyaratkan untuk menjadi partai supaya bisa ikut dalam kontesasi pemilihan umum 1999.

Golkar yang telah bertransformasi diri menjadi partai politik yang lintasan sejarahnya sangatlah panjang dalam konstelasi nasional menjadi perhatian khusus seorang penulis pemula untuk memberikan respon atas tulisan Indra J Piliang yang berjudul “Eka Sapta, Eka Trio: Visi – Misi Airlangga Hartarto (Bakal calon Ketua Umum DPP Partai Golkar Periode 2016-2021)

Dalam kerangka ini saya ingin memulai dari Pertama, Bagaimana paradigma Golkar sebelum dan sesudah Partai-nisasi. Kedua, Bagaimana seharusnya Golkar sebagai partai baru menghadapi perubahan yang terbentuk karena sistem nilai. Meminjam ide Max Weber Perubahan terjadi berdasar pada sistim pengetahuan, Sistim Nilai dan Kepercayaan. Karena Transformasi yang bercita rasa, berdasarkan prinsip dan platform melahirkan pengaruh yang mendalam dalam invidu masyarakat (al-Maududi)

Transformasi Golkar

Perubahan dinamika politik 1998 yang sengaja digiring sejak krisis 1997 menarik perhatian gerakan kemahasiswaan dan memunculkan gagasan reformasi yang notabene sebagai ungkapan dan keinginan besar pada Nation and State, sebagai wujud rasa cinta, haus akan perubahan yang setelah puluhan tahun dibawah komando Soeharto yang Undemocratic itu. Nah celakanya, Golkar kecipratan stigma sebagai Power Supply kekuatan politik rezim ini, kenapa Golkar selalu terasosiasi dengan Soeharto?

Kenyataan politik ini tidak dapat dipungkiri, sejarah panjang Golkar harus kita lihat direpublik ini. Golkar yang terlahir dari kekuatan yang sangat situasional, organisasi yang dilahirkan tahun 1964 oleh Angkatan Darat dengan semangat yang dilatarbelakangi untuk membendung pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mempertahankan Pancasila sebagai Ideologi bangsa. Dengan format golongan fungsional yang tumbuh dan bergerak secara dinamis-efektif (Golkar Baru dalam Fakta dan Opini. Patmoko, 2001). Maka wajar jika Golkar selalu dikaitkan dengan Soeharto karena beliau senantiasa memanfaatkan kekuatan militer untuk memuluskan kebijakannya.

Peralihan tata nilai sejak berdirinya yang menjadi mesin penjaga stabilitas politik dan agenda pembangunan Orde Baru, dan kini telah menjadi partai berparadigma baru dan berdiri diatas nilai yang selaras dengan tujuan reformasi, menjadi partai Inklusif, Independent, Demokratis, Solid, Mengakar dan Responsif  (The Golkar Way, Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi. Akbar Tanjung, 2007).

Menjaga transformasi nilai adalah pekerjaan tambahan bagi semua kandidat calon ketua umum Partai Golkar dengan resouces mapan yang sedang berhadapan langsung dengan era multipartai yang juga memiliki potensi tak kalah besar. Golkar pasca kejatuhan Soeharto tidak lagi menjadi lokomotif pemerintah, tidak lagi menjadi partai yang komposisi kadernya tidak hanya dari kalangan militer seperti yang sebelum-sebelumnya.

Mahyudin sebagai salah satu calon ketua umum Golkar, dalam hal ini ingin membuka pintu kembali dan berjanji akan menggandeng mantan anggota TNI, dalam struktur kepengurusan partai berlogo pohon beringin itu. Repetisi Pertama

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun