. “ini hanyalah fiktif belaka kalau ada kesamaan nama tokoh itu hanyalah kepentingan hiburan semata”. Kalimat ini di sodorkan secepat-kilat setelah program-perogram acara tlevisi usai oleh sang produser. Penempelan kalimat itu bukan karena kewajiban pesan atau sebuah peringatan atas tontonan, tetapi cara pengarang pecundang mencari aman untuk membela karya karangannya yang membodohi. “Pembodohan” mungkin kata yang paling pas untuk mewakili sekian banyaknya acara bodoh di layar kaca; -kacanya bangsa Indonesia. Pembodohan ini di taburkan dua puluh empat jam nonstop secara nasional di negeriku Indonesia. Di pelosok desa dan pedesaan wabahnya menggrogoti anak-anak remaja kampong-ingusan yang sudah bisa di bilang se-leval dengan panyakit autis: ciuman pertama langsung hamil.
Bersistematis sudah pasti. Sejak tahun 1990-an pemerintah mulai memberikan-izin kebebasan tak terhingga kepada setiap orang untuk pamer-memamerkan kebodohan lewat media tlevise, hingga sekarang ini kebodohan semakin di gemari, semakin di puja dan semakin di junjung-tinggi. Saking pentingnya kebodohan dibudidayakan oleh mereka-mereka yang samasekali tak ku kenal, mereka tak sedikit: melembaga dan mereka menamai lembaga mereka masing-masing: Multivision plus, MD Entertaimen dan SinemaArt. Sebutannya berbeda tetapi mereka satu keluarga: keluarga besar yang kokoh dan mapan.
Selain kokoh dan mapan, keluarga ini juga penuh keromantisan dalam setiap interaksi relasi, tidak ada kecemburuan itu sudah pasti, terlihat jelas dalan kesamaan bibit-bibit unggulanan yang mereka produksi yang selalu sama dan pasti serupa: yaitu [sinetron,Ftv dan filem-filem layar lebar yang membodohi lainnya].
Dari cerita-cerita rakyat sampai kasus-kasus tenaga kerja di kuras habis dan di format dengan setandar yang paling tolol-menjijikkan. Ketika mereka semua merasa bosan mengubah itu menjadi lelucon, mulailah mereka berhasrat menginpor kebodohon-kebodohan dari Negara asing dan di standarisasi dengan kebodohan mereka sendiri [buku harian nayla/rcti=Chicago hope/amerika serikat dll].
Walau-pun begitu, wabah ini selalu di tunggu-tunggu oleh penjilat kerabat setia mereka: stasion tlevise. Di sinilah tempat wabah pembodohan itu di lepas bebas. Di siapkan waktu yang paling istimewa: jam istirahat atau waktu berkumpulnya sebuah keluarga secara menyeleruh.
Terlepas dari ketiga pabrik pencetak pombodohan itu, stasion tlevisi juga berhasrat habis-habisan membuat masyarakat jadi tolol: membuat program sampah, talk show, reality show, kuis dsb. Bukannya tidak ada yang marah terhadap kebusukan penyiaran, tetapi memang mereka semua sudah tuli-buta secara permanen dikarenakan ketamakan mereka atas untung yang tiada-tara. Para musisi, brandal,pelajar tak terkecuali para akademis sudah melakukan protes terhadap mereka-media, tentu dengan cara masing-masing, namun apa? Semua tak ada hasil alias efek-jera, mereka-media jalan terus dan terus-terusan membodohi. Mereka tak mau melihat dampak dari tayangan sampahnya, aku tak percaya mereka tak tahu: banyaknya siswi yang hamil, angka bunuh diri di usia dini, adalah dampak dari kosong-melontongnya semua tayangan yang mereka pamerkan. Mereka Samasekali tak menjalankan kewajiban-kewajiban media: pendidikan, hiburan, informasi dan apalah yang lainya.
Kaca mata awam: semua tayangan tlevise berskala nasional adalah geratis, cukup memasang antena sudah bisa melihat tubuh seksi selebritis. Saat menonton sinetron atau program acara lainnya kita tidak usah memikirkan pungutan bulanan kayak listrik, cukup duduk santai sambil makan cemilan. Begitu murah-meriah darmawannya mereka. Apakah benar pemilik stasion tlevisi mau sebaik itu? Jelas tidak, mereka adalah mahluk yang paling rakus-serakusnya.
Media berlomba-lomba menayangkan acara yang paling bodoh, sebab kita yang penontonnya adalah bodoh dan girang sekali dengan kobodohan. Di situlah titik-letak media tlevisi mendapatkan uang yang melimpah. Ketika sesorang sudah kecanduan dengan hal-hal bodoh, maka iklan datang mengalir ke media dengan sendirinya: iklan membayar kepada media dengan sangat mahal sebagai ungkapan terimakasihnya terhadap media yang sudah sukses membuat kita menjadi kecanduan terhadap ketololan. Menaruh iklan di media itu mahal, sebuah perusahaan tidak akan sanggup dan mau membayar ongkos tarif periklanan di media. Yang disuruh membayar tarif iklan itu adalah kita: kita semua yang menonton: semua rakyat Indonesia tanpa terkecuali.
Membayar periklanan berarti membayar pajak tlevise, membayar tlevise berarti membayar peroduk-peroduk Multivision plus, MD Entertaimen dan SinemaArt.
Iklan, tlevise dan ketiga lembaga yang saya sebut di atas adalah pencetak pembodohan. Hubungan relasi diantara mereka sangat romantis, saling menguntungkan satu sama lain, bersekongkol dalam peroses penanaman virus secara nasional melembaga.
Periklanan Indonesia berkembang dengan pesat dan tentunya penuh kreatifitas. Norma dan etika di injak-injak penuh kepuasan secara kasar. Ku tak tahu apakah watak periklanan memanag seperti itu, mungkin memang seperti itu yang diajarkan oleh si-Jan Pieterzoon Coen: orang belanda yang di sebut-sebut sebagai bapak periklanan Indonesia yang hidup di zaman hindia-belanda atau mungkin saja dari ajarannya saudagar-saudagar china yang tinggal di Indonesia?.