Mohon tunggu...
Geni Murti
Geni Murti Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Teknik Elektro dan Informatika ITB. Sangat enerjik memiliki minat pada imajinasi tetapi berada di lingkungan "otak kiri". visi saya : "Buat Indonesia memimpin dunia 2030"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pandangan Pendidikan Tukang Kayu

3 Januari 2012   03:41 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:24 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita menarik hari ini bersama sahabatku di Desa Wonosobo, Jawa Tengah. Sebuah desa dengan hawa sejuk seperti Negeri Utara Kuru  dalam cerita Ramayana. Aku bilang Desa karena jika menjadi kota akulah orang yang paling tidak terima dengan predikat tersebut. Desa identik dengan konotasi baik, sejuk, asri , Masyarakat yang damai dan lain-lain. Komparasi konotasi dan denotasi antara “Desa” dan Kota Wonosobo sangat serupa. Masyarakat disini terkenal dengan masyarakat yang pekerja keras. Masyarakat disini dikenal dengan masyarakat yang gigih.

Saya kebetulan sedang pulang ke Desa itu setelah beberapa minggu menghabiskan  waktu dengan tugas-tugas yang padat sebagai mahasiswa diBandung. Saya berkunjung ke rumah kawan saya yang juga pernah menjadi seorang mahasiswa di Bandung. Dia sahabat saya di SMA dengan prestasi akademis dan nonakademis yang seimbang. Kini dia bekerja keras untuk menghidupi keluarganya dengan meneruskan usaha keluarga menjadi seorang manejer kayu yang baik. Dulu saat di pegang oleh ayah dan ibunya, nampak usaha ini relative kurang terstrukur. Jika bukan karena Allah baik secara ilmu good management ini tergolong bad management   cara-cara menajerial masih kaku dan tradisional. Kini dia yang muda memberikan sebuah penggambaran usaha yang lebih baru dan segar. Saya adalah orang yang selalu meyakini bahwa perubahan pasti ada di tangan seorang pemuda. Dari hal-hal yang kecil dia sudah mulai memperbaiki, seperti hubungan dengan kelas-kelas pasar yang lebih luas, cara-cara marketing yang modern (walaupun didesa, nampak buku-bukunya dari pemikir seperti john Maxwell, chris gardner dll) ditambah dia hobi mengikuti seminar-seminar. Indikasi segarnya usaha ditandai dengan ekstensi usaha warung di pedesaan dari yang hanya usaha kayu.  Dalam waktu setahun beliau relative bisa mengembangkan usahanya. Managemen warehousing, pencatatan dan managemen. Ternyata benar dalam setahun dia dapat menambah asset berupa 1 mobil dan pengajuan perpanjangan utang oleh bank sebesar 150 juta rupiah.

Saya turut mengantar beliau ke tempat pelanggan yang memesan kayu, dijalan dia sambil bercerita tentang kondisi ekonomi pedesaan. Dia bercerita bahwa untuk mengendalikan pekerja yang tidak sekolah itu sangat susah. Ketika mereka di jelaskan mengenai kedisiplinan waktu yang berimbas pad produksi dan pelayanan mereka tidak mengerti dan cenderung tida mau mengerti. Bagi mereka hal seperti itu hanya akan menambah pikiran setelah seharian bekerja keras secara fisik. Kemudian ketika para buruh kayu tersebut diancam dipecat maka mereka juga tidak takut sama sekali dengan pemecatan, karena  yang akan menampung pekerja angkut semacam ini masih banyak didesa. Jadi ternyata ternyata tidak ada pengangguran di desa tersebut karena pekerja yang tidak berpendidikan pun dapat resign sesuka hati. Sekedar informasi untuk memotong kayu dan angkut ke truk pekerja tersebut mendapat gaji sekitar 1,3 juta di desa dengan living cost yang sangat murah. Nilai yang cukup besar hapir setara gaji lulusan D3 bidang administrasi di Bandung. Belum lagi ditambah masih sistem masih menggantungkan hidup pada anggota lain. Jadi kalau dia menganggur dia akan menggantungkan hidupnya pada keluarga.

Itu tadi cerita dari pekerja yang pola pikirnya relatif sama dengan budaya disana yang turun temurun seperti itu. Ada juga cerita tentang pengusaha sukses dari kampong saya lagi. Saya pernah itung-itung laba bersih dia hampir 50 juta perbulan dari hasil perkebunan. Waktu mencoba berdiskusi dengan beliau, dia hanya menjawab begini “ buat apa sekolah, ujung-ujungnya jadi koruptor". Mending punya kebun banyak , kapolri beli mobil saya bisa beli , yang lain jalan-jalan aku juga bisa”. Memang hidupnya realtif lebih santai dari pada pekerja di kota. Katanya sekolah tidak bikin kaya dan tidak penting. Tapi setelah saya tengok keluarga dia, anaknya sekolah bawa mobil tetapi sekarang ironinya hidupnya berantakan. Berapapun uang yang dikasih selalu habis dan akhirnya tidak lulus SMA. Kehidupannya tetap tidak membaik tidak seperti ayahnya, karena mentalitas yang terbentuk tidak ada. Jujur saya berpendapat memang pendidikan hanya meng "kiri" kan kepala dan menjadi sok tau, tetapi ada kalanya disana ditempa masalah pentingnya karakter.

Hikmah yang dapat di petik adalah ternyata hari ini kurangnya pemahaman masyarakat tentang pendidikan. Hal seperti tadi timbul di hampir semua masyarkat kelas bawah. Subtansi pendidikan itu tidak jelaskan bahwa ilmu akan menjadikan kita lebih berbudaya dan bermartabat. Ternyata stigma pendidikan hanya untuk cari uang hari ini masih menjamur. Sehingga ketika masyarakat beinvestasi pada pendidikan merasa rugi saat anaknya atau dirinya ujung-ujungnya menjadi pengangguran. Pendidikan seharusnya lebih di tekankan pada aspek mentalitas berupa nilai-nilai religiusitas dan kreatifitas. Religiusitas untuk membentengi mentalnya, sedangkan  kreatifitas adalah cara mencapai keinginan-keinginan yang logis. Satu lagi pesan dari tukang kayu teman saya ini. Dia mebanting tulang siang malam, ekonomi indonesia tumbuh karena masyarakat yang bergerak bukan karena pemerintah. “Kami membayar pajak dengan keringat kami yang sangat basah, tetapi penguasa hanya menghabiskan uang kami” .

Geni Isno murti

Mahasiswa Institut Teknologi Bandung

Sekolah Teknik Elektro dan Informatika

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun