Siapa sangka, kota besar yang disana itu dulunya adalah hutan. Mahesa saksinya. Di hutan itulah ia menggantungkan hidup. Mahesa tidak sendiri, begitu juga warga lain dan semua satwa penghuni hutan yang hidup berdampingan bersama mereka. Sangat damai.
“Satu hal yang harus kamu jaga dengan baik Mahesa, jangan tebang hutan karena hutan adalah rumah kita,” kata kakek Mahesa sebelum meninggal.
Hingga suatu masa, pecah tangis Mahesa sejadi-jadinya dalam kamarnya. Ketika itu harga jual kayu begitu sangat menggiurkan bahkan membutakan mata, termasuk warga desa Mahesa yang sejak dulu terbiasa hidup sederhana. Warga desa mulai berlomba-lomba menebang pohon, bahkan saling serang, saling bunuh, untuk mendapatkan sebatang pohon untuk ditebang.
“Pohon ini milikku, jika ada yang berani ayo berduel denganku,” begitulah terdengar nada lantang warga yang dulunya sopan dan santun.
“Pohon ini milikku, mari berduel,” dan satu nyawa lagi melayang sia-sia karena keserakahan.
Pupus sudah harapan Mahesa, dipendamnya dalam-dalam dalam luka, Ia tak kuasa melakoni pertarungannya sendiri melawan warga sedesa yang kalap mata karena materi dan melupakan pemberian Tuhan yang tak ternilai. Hilang sudah Rumah tempat Mahesa meninggalkan banyak cerita dan kenangan.
Kini Mahesa telah tua dimakan usia, satu sesal Mahesa yang kekal, Ia tak dapat berkata seperti perkataan kakeknya dulu, Ia bingung hendak mengatakannya pada siapa sedang tak seorangpun ingin mendengarnya. Dan siapa sangka, dalam samar-samar mata tua Mahesa, kota besar yang disana itu selamanya tergenang banjir dan habis sudah arti kemewahannya lantaran hutan yang telah tiada. Dari sisa-sisa hutan, jatuh air mata Mahesa tua untuk terakhir kalinya.
Nb, mks 20 02 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H