Sebenarnya saya sudah berniat untuk tidak berkomentar mengenai salah satu calon presiden dalam Pilpres kali ini. Namun melihat kejadian tanggal 22 Juli lalu yang membuat saya terus menerus ditelepon oleh orang tua saya dan diwanti-wanti untuk tidak keluar dari kos sama sekali, membuat saya disarankan untuk tidak berangkat magang lebih dulu dari pihak perusahaan ( dan membuat acara pengumpulan data untuk skripsi saya tertunda ), serta membuat saya menunda rencana keberangkatan ke Jakarta untuk menghabiskan hari libur bersama kedua kakak saya… saya langsung gatal ingin menulis komentar saya di sini.
Saya termasuk dalam golongan rakyat yang bersuka ria karena pasangan Jokowi-JK menang. Ya, saya pendukung Pak Jokowi, bukan karena alasan yang aneh-aneh, tapi karena saya tahu betul hasil kerja beliau di kota asal saya, Solo. Saya ingat bagaimana beliau bisa membuat city walk di Jalan Slamet Riyadi yang tadinya semrawut, saya ingat bagaimana beliau memperbaiki pasar-pasar tradisional sehingga kini semuanya elok dipandang, saya ingat betapa beliau dicintai oleh rakyat kota Solo.
Tapi bukan berarti saya tidak menghormati Pak Prabowo. Pada awalnya saya menghormati beliau, dengan semangatnya, dengan orasinya… Saat itu saya bersyukur karena rakyat Indonesia diperbolehkan memilih antara Pak Prabowo dan Pak Jokowi, karena saya percaya keduanya adalah putra terbaik bangsa, yang menginginkan Indonesia yang lebih baik.
Sahabat saya bilang : “ Jelas lah kita harus bersyukur. Kita diberi pilihan yang baik, antara Prabowo atau Jokowi. Nggak ada nama-nama macam Farhat Abbas, Eyang Subur, ataupun Rhoma Irama.” Saya langsung meng-klik tanda “Like” untuk pendapatnya yang satu ini. Dua pilihan terbaik yang diberikan Tuhan pada negeri ini, sehingga andaikata Pak Jokowi tidak terpilih pun… saya sudah cukup senang karena yang menjadi Presiden adalah Prabowo Subianto.
Tapi itu dulu…
Sejak quick count dilakukan dan hasilnya bisa berbeda-beda, saya sudah mulai angkat alis. Tapi yah, sudahlah. Namanya juga manusia, mau deklarasi kemenangan kek, mau sujud syukur duluan kek, ya hak masing-masing lah ya. Yang penting nanti kalau sudah real count, harus bisa terima hasilnya, begitu pikir saya.
Eeeh…tanggal 22 Juli, saya kaget begitu ditelepon pacar saya dan disuruh memantau berita di TV. Prabowo Subianto menolak hasil Pilpres! Begitu tulisannya.
Saya langsung pasang kuping mengikuti perkataan beliau yang sedang berpidato. Dan jujur, saya tertawa, ngakak! Saya betul-betul geli. Ada ya, orang yang segitunya nggak mau kalah? Dari awal sudah bilang, siap menang siap kalah. Tapi kenyataannya, ya seperti teman saya waktu SD dulu, kalau dia nggak ranking satu, guru dan teman yang jadi pesaingnya yang dituduh “curang”. Saya paling tidak respect sama orang macam itu, jadi mohon maaf, hilang sudah rasa hormat saya pada Pak Prabowo. Kalau saya boleh bilang ke Pak Prabowo... saya ingin sekali menyampaikan :
“Pak Prabowo yang baik, sudah bukan suatu hal yang aneh bahwa jika anda ingin dihormati maka anda terlebih dulu harus belajar agar layak untuk dihormati. Tidak perlu setiap kali menggunakan nada tinggi dan suara keras, anda bukan penyanyi tenor opera – karena tidak selalu suara yang keras dan bernada tinggi itu didengarkan. Tidak perlu juga mengaku-ngaku hendak membela kebenaran, anda bukan Ninja Gozaru pembela kebenaran dan keadilan – karena pada akhirnya kebenaran pasti akan selalu terungkap. Tidak perlu mendengungkan siap menang siap kalah dan menuntut lawan melakukan hal yang sama, karena pada kenyataanya anda bukan orang yang menepati kata-kata tersebut.
Bapak sendiri bilang kita harus menunggu hasil perhitungan resmi KPU tanggal 22 Juli, namun begitu menunjukkan bahwa Bapak tidak unggul, mengapa Bapak langsung walk out dengan berbagai alasan yang belum terbukti kebenarannya? Saya curiga andaikata Bapak jadi Presiden, lalu menemukan hal yang tidak sesuai dengan kemauan Bapak, maka Bapak juga akan walk out dari tugas.
Sungguh sayang, Pak. Bapak sudah memiliki tempat paling tidak di hati rakyat yang memilih anda. Apakah anda ingin merusaknya dengan sikap tidak ksatria-yang tidak mau menerima kekalahan? Bukan apa-apa, tapi tolong coba lihatlah dampak dari apa yang Bapak lakukan : orang-orang merasa tidak aman karena takut terjadi hal yang tidak diinginkan, IHSG sempat anjlok, investor cemas, pilpres kita yang menjadi sorotan internasional ternoda… ( satu-satunya hal baik dari tindakan Bapak adalah anda sempat membuat jalanan di Jakarta sepi dan bebas macet sesaat ).
Terimalah hasil Pilpres dengan legowo, Pak. Terimalah kekalahan dengan kepala tegak dan hati lapang. Jangan memperrumit situasi negeri ini. Niscaya, Bapak akan tetap menjadi pemenang di hati rakyat yang masih menaruh harapan pada Bapak. Bapak juga akan dihormati oleh rakyat yang tidak memilih Bapak.”
Bandung, Juli 2014
Salam hangat :)
[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="sumber : beta.antaranews.com"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H