Mohon tunggu...
Pitoresmi Pujiningsih
Pitoresmi Pujiningsih Mohon Tunggu... -

In Caffeine We Trust!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

In Caffeine We Trust!

27 Desember 2012   13:57 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:57 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13566159421132144212

[caption id="attachment_231816" align="aligncenter" width="600" caption="Kopi ENAK!"][/caption]

Three things that I want to be strong and durable: my man (when I have one), my booze, and my coffee.

Entah kapan saya mulai suka kopi. Sejak Mbak Bule klien saya dari Belanda memperkenalkan cara menyiapkan kopi dengan direbus, saya mulai maniak kopi hitam tanpa gula. Rasanya menyegarkan. Beneran deh. Tapi saya nggak percaya bahwa kafein penyebabnya. Karena campuran satu mug air mendidih dan dua sendok makan kopi yang saya aduk sampai rata itu sering saya sruput panas-panas sampai ujung lidah menghitam. ITU yang bikin segar. Saya sempat berpikir bahwa nutrisi saya sehari-hari dicukupkan dengan bergelas-gelas kopi pahit-hitam-panas-mengepul dan rokok. Lupakan lotek, lupakan mie ayam dan gado-gado. Saya bisa hidup tanpa mereka namun melemah tanpa cairan pekat berkafein. Sampai ketika saya bekerja di pabrik topeng nan santai dengan celana pendek dan kaos oblong mengharuskan saya melek seharian dan berkejaran dengan tenggat. Suatu hari yang apes saya sadar sudah dua belas kali saya bolak-balik ke pantry untuk menyeduh kopi dan membuat toilet juga beraroma kopi setiap saya habis pipis. Man... that was verrrrrry wrong. Tapi saya bangga dengan kopi Indonesia. Lupakan espresso bikinan orang-orang Italia yang memampatkan saripati kafein dalam secangkir imut cairan pekat-pahit sempurna, menyerap semua rasa manis berkilo-kilo gula dengan formulasi e = 1 seperti Dementor menghisap kebahagiaan manusia di seluruh dunia. Bentang alam Indonesia dengan ketinggian bervariasi membuat aroma kopi juga bermacam-macam. Nggak usah jauh-jauh. Ambil contoh kopi Aceh. Dengan komposisi yang sama, cara merebus yang sama dan hasil yang sama, jika hidung dan pencecapmu mampu, kamu bisa rasakan perbedaan antara aroma Gayo dan Ulee Karaeng. Aroma Gayo lebih "primitif" sementara rasa Ulee Karaeng lebih tebal. Geser jempolmu sedikit dari Google Map, coba bedakan antara kopi dari Banyuwangi dan Toraja, akan kamu dapati kegetiran lebih tebal pada Kopi Banyuwangi. Sudah coba Kopi Sorong? Hati-hati buat yang berjantung lemah. Sesendok makan kopi ini, sekalipun direbus sempurna, masih membuat saya deg-degan nggak karuan, macam lagi ngobrol sama cowok ganteng-pintar-unyu-cakeup yang saya cuma bisa bengong sambil keringetan. Apalagi? Vietnam drip dengan kopi asli Vietnam? HUAHAHAHA! Kopi palsuuu! Apa-apaan itu, kopi kok rasanya kecoklatan?! Kalau mau merasakan sensasi ngopi cara Aceh asli di Jakarta yang penyajiannya mirip Teh Tarik, datang ke Jambo Kupi dekat Pasar Minggu. Bapak peracik kopinya menatap saya bangga waktu saya pesan kopi gelas besar tanpa gula. Dia bilang, "Adek ini penikmat kopi sejati rupanya. Harusnya memang begitu menikmati kopi." Dan saya cuma nyengir. Dan Kopi Arab? Waduh... Meskipun syahdan menurut konon--yang saya lupa baca di mana--orang Arab lah yang membawa kopi ke Indonesia dan menyebutnya dengan kahwa, mereka mencampurnya dengan rempah dan rasanya kentang. Kena-tanggung. Semacam udah berkonde tapi nggak kondangan. Oke, salah terminologi. Berkonde-nggak-kondangan itu untuk menyebut mabuk alkohol yang kentang. Lha wong rasanya sama kok. Tau kan? Semacam baru masuk ujungnya dan tiba-tiba pintu kamar digedor Ibu Kos. Oke, saya ngelantur lagi. Saya cuma mau bilang bahwa Indonesia, negara gemah-ripah-loh-jinawi ini, yang bisa tanam kayu jadi tanaman--menurut survey Koes Ploes di zaman kuda gigit kuda--dan sumber-sumber mata airnya nan kaya memaslahatkan kehidupan desa sudah dikangkangi perusahaan air minum kemasan dari Perancis semacam Danone dengan Aqua, yang penduduknya ramah dan terbuka dan membuat Nusantara digerogoti perusahaan Belanda pencari rempah dan kekayaan demi memenangkan perang selama tiga ratus lima puluh tahun, yang rakyatnya gampang diprovokasi oleh isyu agama karena malas cari tahu, yang mau dijelek-jelekkan sebagaimanapun tetap juga saya bela sampai titik darah dan jigong penghabisan, adalah produsen kopi dengan aroma paling kaya, paling beragam, paling enak sejagad-raya. Lupakan Starbucks yang rasa kopinya berteriak "GENGSI! PRESTISE! GAYA!" Bandingkan dengan Kopi Aroma di Jalan Banceuy no. 61, Bandung, dengan Pak Widjaja yang--jika kamu beruntung mendapati dia sedang ada di situ--akan mengantarmu keliling pabrik dan bercerita penuh semangat tentang usaha nenek moyangnya, tentang sepeda pertama pengangkut karung-karung kopi yang bertengger di dinding, tentang gerumbul-gerumbul kopi harum setelah disangrai. Lupakan Kopi Amerika Latin dan Afrika. Meskipun nasib petaninya seragam--dibayar murah demi keuntungan kapitalis pabrik kopi kemasan--namun kita boleh bangga karena kopi-kopi terbaik Indonesia justru nggak sanggup kita beli. Kemasan ukuran 100 gram itu diekspor ke Jepang, Eropa dan Cina dengan harga gila-gilaan. Lupakan kopi-kopi sachet cupu bikinan Nestle, karena Liong Bulan bikinan Depok punya efek lebih gahar. Tapi jangan lupa jaga kesehatan. Untuk segelas kopi, sertakan dengan minum dua gelas air. Kasihan ginjalmu. Jangan siksa dia lebih jauh. Jadi? Silakan eksplorasi kopimu, kenali negaramu. Because In Caffeine We Trust! Ps. oh, saya belum cerita kan filosofi nongkrong di warung kopi? Atau filosofi Tuhan Kopi? Kapan-kapan ya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun